Lelaki itu wafat di dalam masjid kampungku. Tidak ada yang tahu asalnya dengan pasti, laki-laki renta 70 tahun ini hanya menyebut Ngawi sebagai tempat kelahirannya. Suatu hari sekitar 20 tahun lalu saat shalat subuh orang kampung menjumpainya ikut berjamaah subuh, ia ingin menumpang tinggal dikampung.
Mbah Di kami biasa memanggilnya. Ia tinggal di gubuk yang kecil sendirian ditepian dusun, menempati tanah menganggur milik salah satu perusahaan yang ditanami kakao.
Ia numpang menanam ketela, cabai dan talas ditanah itu sembari ikut merawat tanaman kakao. Ia tidak mau menerima pemberian orang, toh jika pemberi memaksa ia akan membalasnya dengan seikat kayu atau cabai pada orang itu. Ia orang tua yang ramah tapi jarang berbicara, lebih banyak diam, wajahnya bersih.
Selama 20 tahun lebih, nyaris tanpa absen tiap subuh maghrib dzuhur dan asar ia selalu ada di masjid. Berwudhu, lalu ikut berjamaah walau lebih banyak sendiri karena masjid sepi.
Usai shalat ia pindah disudut masjid, selalu ditempat yang sama untuk wirid sebentar dan beranjak pulang kembali mengurus kebunnya. Kebunnya sangat bersih rumput nyaris tidak ada dan tanamannya tumbuh baik.
Suatu hari, Mbah Di kedapatan menangis di sudut masjid sesenggukan,tidak ada yang tahu kenapa. Sejak dzuhur hingga magrib ia tidak beranjak dari masjid. Hanya berwudhu, shalat dan menangis lagi, tidak ada yang tahu dan mbah di juga tidak bercerita.
Menurut cerita orang-orang di kebun kakao, siang itu usai menebang batang pohon untuk kayu bakar Mbah Di tiba-tiba berteriak dan menangis.
“Aku berdosa. Aku dosa, aku sudah membunuh mahluk Allah,” teriaknya berulang kali.
Besoknya mbah Di dikabarkan jatuh sakit, tapi ia tetap saja memaksa berangkat ke masjid kendati dengan langkah tertatih, berwudhu lalu shalat dan pindah ke pojokan untuk wirid dan kembali menangis sesenggukan. Hal itu dilakukan terus hingga suatu hari mbah Di tidak terlihat dimasjid.
Pak Ustadz dan beberapa warga kampung datang menengok digubuk kecilnya. Tubuh Mbah Di terbaring sangat lemah, matanya sembab terlihat habis menangis. Warga kembali bertanya, apa yang membuat Mbah Di begitu sedih. Tapi lagi-lagi pria tua ini kembali menangis,”Aku berdosa, aku telah berdosa, aku sudah membunuh makhluk Allah.”
Dan, lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut tua ini. Wargapun berpamitan pulang, hanya tinggal Ustadz berdua bersamanya. Akhirnya Mbah Di bercerita pada Ustadz, ia sangat sedih karena sewaktu menebang pohon ada sarang burung yang tertimpa batangnya dan anak-anak burung itu mati.
“Saya ini orang bodoh, pak Ustadz,” tuturnya.
“Saya tidak punya amal yang banyak, umur saya sudah tua mungkin juga tidak lama lagi. Saya tiap hari mencoba hati-hati agar tidak menambah dosa, tapi saya malah berbuat dzalim membunuh mahkluk gusti Allah. Amal kebaikan saya sedikit, ibadah saya juga sedikit dan ini malah berbuat kejahatan menyakiti mahluk lain. Entah nanti saya dapat syafaat kanjeng nabi atau tidak”.
Dua hari setelah itu Mbah Di ditemukan di sudut masjid wajahnya teduh seperti orang tertidur, ia telah meninggal.
Ia bukanlah orang yang berilmu, bukan alumni pesantren ia tidak bisa membaca al quran. Tapi jauh dari itu ia mampu menunjukkan kesalehan sesungguhnya. Ia menjadi contoh kerendahan hati, kehinaan diri, kesederhanaan dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur, ia tahu bahwa beribadah saja tidak cukup untuk menyelamatkanya,tapi juga harus hidup penuh welas asih mengasihi mahluk lain.
(diceritakan suatu hari oleh guru saya)