Saya sejatinya merasa kurang kompeten untuk memberi komentar tentang kebijakan zonasi peserta didik. Meskipun sebagai salah satu pendiri Sekolah Tanpa Batas, namun sudah bertahun-tahun tidak aktif dan kurang up date isu pendidikan. Jadi, tulisan ini anggaplah sebagai “celotehan” saja.
Mari kita mulai dengan opini bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih belum settled dan masih terus bongkar-pasang. Reformasi pendidikan dan anggaran 20% dari total APBN untuk pendidikan masih belum mengubah secara fundamental kualitas kemanusiaan, kualitas literasi dan kualitas responsi dalam kehidupan. Namun, kita sudah mencapai kemajuan di sana-sini dan masih bergerak menuju kemajuan lainnya, meski parsial.
Salah satu hal baik yang parsial itu adalah kebijakan zonasi bagi peserta didik. Saya setuju dengan sistem zonasi untuk sekolah negeri, sekolahnya pemerintah. Mungkin akan ada eskternalitas negatif di sana-sini, tergantung daerah masing-masing. Namun dampak positif dan eksternalitas positifnya dalam jangka panjang akan lebih banyak. Baik yang terkait dengan bidang pendidikan secara langsung maupun yang tidak secara langsung.
Beberapa hal baik — tidak terkait langsung dengan ikhwal akademis — yang ke depannya bisa terwujud karena sistem zonasi ini: pertama, anak-anak sebagai anggota masyarakat akan kenal dan makin akrab dengan anak tetangga kanan-kiri;
Kedua, anak-anak akan menjadi trigger bagi orang-orang tua untuk juga makin aktif secara sosial (minimal karena mengikuti kegiatan sekolah) dan tentu akan menguatkan kohesi sosial di tiap-tiap zona. Tentu ini akan memperkuat daya tahan masyarakat dalam menghadapi ancaman-ancaman, misalnya kriminalitas dan terorisme.
Ketiga, di wilayah perkotaan, jalan raya pada pagi hari dan siang hari mungkin akan lebih manusiawi. Anak-anak akan ke sekolah yang dekat rumah, tidak perlu antar jemput pakai mobil dan bisa pakai sepeda. Tentu jika sepedaan akan makin bagus, emisi karbon turun dan anak gemar olah raga.
Suatu kebijakan tertentu perlu dilihat juga dari aspek lain di luar kebijakan tersebut. Sehingga, yang jauh lebih penting saat ini adalah bergerak bersama merumuskan sistem pendidikan nasional dan daerah yang lebih settled untuk jangka pendek menengah panjang. Ada asa saat Presiden Jokowi berjanji akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia di periode keduanya.
Pada akhirnya — menyitir prinsip pendidikan di Finlandia, negara dengan kualitas pendidikannya nomor wahid sejagad — pendidikan harus didesain untuk mendukung peserta didik “growth towards humanity and ethically responsible membership of society”. Demikian dan di sinilah angka NEM tidak lagi yang utama.