Bagaimana people power dalam demokradi dan konsep Islam? Dalam menjalankan sistem demokrasi, negara memberi ruang seluas-luasnya terhadap seluruh warganya untuk mengutarakan pendapat, membuka sekat-sekat perbedaan serta memendam ego sektarian yang cenderung mengegaliter suatu kehendak bangsanya. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menjamin keutuhan dan kesejahteraan bangsanya dengan setara.
Dalam QS. Ali Imron Allah SWT melarang keras umatnya bercerai berai setelah sebelumnya di antara mereka telah bersatu padu dalam mengikuti kebenaran.
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Âli Imrân: 105]
Dengan menggunakan pole Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, ayat ini sangat tepat dijadikan dalil wajibnya menjaga keutuhan negera kesatuan ini. Alih-alih dalam ayat lain ditegaskan bahwa bahwa setiap semua kalangan yang majemuk dan plural dalam konteks Indonesia satu sama lain mestinya mampu memendam egonya (luwes, bersamabar) untuk menghindari perselisihan dan perpecahan dari perbedaan yang terjadi.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allâh beserta orang-orang sabar.” [Al-Anfâl/8:46]
Ayat ini cukup lugas menegaskan wajibnya meredam ego, membuang sikap tempramintal dalam menghadapi perbedaan dan bahkan perselisihan yang menyebabkan Negara bangsa ini menjadi lemah.
Namun demikian, imbauan agama ini sepertinya sudah dienyahkan demi suatu kepentingan. Kita dapat melihat bagaimana egosentrisme memuncak menjadi “klaim” di laga pilpres kali ini, dan juga pemilu tahun lalu. Itu artinya, ayat ini telah tertindih dengan gelapnya pola pandang para elit yang ego sektarianismenya untuk menang sendiri masih membabi buta.
Jauh lebih para dari itu, seruan aksi melawan konstitusi telah terjadi di kalangan politisi. Alih alih justis agama selalu disandingkan untuk membenarkan pendapatnya. Contohnya, Amien Rais di hadapan ratusan pengikutnya menyerukan “People Power” untuk mengkudeta ketetapan Komisi Pemilihan Umum yang (mungkin) akan menetapkan Jokowi sebagai peraih suara terbanyak di laga pilpres 2019 ini.
Sementara itu, oknum yang mengatasnamakan (seruan) Agama adalah Habib Rizieq.
Anda bisa dengan mudah mengeceknya dari berbagai media nasional, HRS memerintahkan seluruh umat muslim untuk turun jalan “aksi demonstrasi” melawan konstitusi (Ketetapan KPU) dan sistem demokrasi (pemilu untuk penentukan pemimpin negara). Itu artinya, perpolitikan rezim ini telah dipenuhi dengan bandit-bandit pemberontak. Maka, bagaimana agama (Islam) menghaapi persoalan ini?
Jika dipahami dari dua ayat di atas, menjadi mafhum bahwa seruan aksi perlawanan atas sistem dan konstitusi negara adalah suatu pemberontakan. Dan ta’zir bagi para pemberontak dan pemecah bela bangsa telah ditegaskan oleh Rasullah dalam hadisnya:
وحدثني عثمان بن أبي شيبة حدثنا يونس بن أبي يعفور عن أبيه عن عرفجة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/ bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.”
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi dalam kitabnya Shahih Muslim, كتاب الإمارة , bab باب حكم من فرق أمر المسلمين وهو مجتمع secara literal dipahami bahwa para pemberontak, pemecak belah bangsa, dan mungkin juga pelaku people power wajib dibunuh, menurut Islam.
Sedangkan ta’zir (hukuman) untuk Amin Rais dan HRS sendiri telah dijelaskan dalam sabdanya yang lain.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ . وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang (memulai) berbuat kebajikan dalam islam dan diikuti oleh penerusnya, maka ia (yang memulai) dicatat sebagaimana orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang (memulai) berbuat kejelekan dalam islam dan diikuti oleh penerusnya, maka ia (yang memulai) dicatat sebagaimana orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun” (HR. Muslim no hadis 1017)
Maka dengan memerhatikan kedua ayat tersebut, serta melihat lakon Pak Amien Rais dan HRS yang menginisiasi aksi People Power, tentu anda sudah dapat menyimpulkan sendiri takzir/hukuman yang pantas bagi keduanya.