Pada satu kesempatan Habib Rizieq Syihab (HRS) pernah menegaskan, “ kalau maksiat sudah tidak ada di republik ini dan pemerintah menegakan hukum secara benar, (maka) FPI akan bubar dengan sendirinya!!”.
Terus terang, saya tertegun dengan pernyataan itu. Betapa tidak, siapa juga yang mengharapkan nasibnya bergelimangan dosa dan hidup dalam ketiak pemerintahan zalim. Tidak seorangpun menghendaki itu, pastinya.
Lebih-lebih bagi seorang Muslim, hidup dalam naungan Alquran dan panduan Sunah Nabi tentu saja merupakan dambaan setiap umat Islam. Demikian halnya dalam berserikat, kita pasti memimpikan seorang penguasa atau sekurang-kurangnya sistem yang adil dan beradab.
Di titik ini, sosok Kanjeng Nabi Muhammad adalah idealnya. Di tambah, cara beliau memperlakukan segenap umat Islam dan warga negara Madinah sangatlah manusiawi, kalau bukan islami.
Namun ternyata hidup ini tidak melulu tentang ekspektasi. Terkadang dan cukup sering, realita itu bahkan terlampau kejam mengubur bejibun imajinasi. Tidak sedikit riwayat kiranya yang menyebut tentang nasib seorang Muslim taat yang berujung pada laknat. Na’udzubillah.
Demikian sebaliknya, seorang pelacur bahkan dinaskan masuk surga oleh Nabi gara-gara satu kebaikan di ujung hayatnya. Meski begitu, bukan berarti pula kerja-kerja melacurkan diri itu merupakan kebolehan. Poinnya adalah, siapa yang benar-benar tahu dan bisa menjamin nasib akhir setiap kita?
Untuk itulah, ilustrasi sabda Nabi tersebut seolah mengisyaratkan kalau laku maksiat atau yang dalam terminologi ilmiah disebut patologi sosial merupakan kenyataan peradaban. Membayangkan dunia ini nihil dari praktik semacam itu memang sungguh mulia, tapi juga sekaligus bukan hal yang mudah mewujudkannya, kalau bukan irasional.
Sebab walau bagaimanapun, laku maksiat di titik tertentu menyadarkan kita akan adanya keagungan Tuhan Yang Maha Pengampun. Karenanya, sekali lagi, membayangkan dunia ini nihil dari praktik semacam itu, sama dengan menegasikan ke-Maha-Ampunan yang telah menjadi sifat dari Dzat Tuhan.
Saya jadi teringat ceramah keagamaan yang sering disampaikan oleh KH. Ahmad Bahaudin (Gus Baha) saat menukil kisah Sahabat Nabi bernama Nu’aiman. Kisah ini pun cukup masyhur dalam tradisi Pesantren.
Diceritakan bahwa Sahabat Anshor yang satu ini jailnya tidak ketulungan. Bahkan tidak hanya itu, Nu’aiman disebut sebagai Sahabat Nabi yang kendati sering mabuk-mabukan, nge-fly, tetapi kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya bukan kaleng-kaleng.
Menariknya, ketika para sahabat menegur dan bahkan sampai melaknat Nu’aiman, Kanjeng Nabi justru memberi pembelaan. Kata Nabi, “kalian jangan sekali-kali melaknati Nu’aiman, sebab begini-begini dia cinta sama Allah dan Rasul-Nya”.
Naini, kata Gus Baha, yang kemudian dijadikan landasan Imam Ghazali dan para ulama ahlu sunnah ketika dihadapkan pada realitas umat Nabi yang tentu saja bermacam-macam karakternya. Termasuk pada pelaku maksiat, yang demikian itu tidak lantas menghalangi kebolehan seseorang mencintai Allah dan Rasul.
Artinya, maksiat itu memang perkara, tapi cinta pada Allah itu soal lain. Itulah mengapa kalau kita menyimak dengan jeli rekam jejak para ulama masa lalu, betapa arifnya mereka dalam memanusiakan manusia.
Kita ambil contoh Gus Miek, misalnya. Ulama yang satu ini, sebagaimana ditulis Gus Dur dalam Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan, menempuh dua pola kehidupan sekaligus: kehidupan tradisional orang pesantren, dan pada saat yang sama tidak absen dari gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar di sini tentu saja bukan sekedar gebyar, karena ia benar-benar berada di tengah diskotik, night club, coffe shop, dan “arena persinggahan” orang-orang tuna susila.
Dan, inilah menariknya. Sederhana saja, Gus Miek—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—mampu membawa agama dalam fungsi dasarnya yang humanis. Ia menyapa semua orang, utamanya mereka yang tidak pernah disapa arus utama.
Demikian dengan upayanya mengajak bicara orang-orang yang dianggap nihil akan nilai-nilai agama. Ya, yang ia tatap adalah potensi kebaikan dalam setiap jiwa manusia. Bukan sebaliknya, menggunakan agama sebagai justifikasi kebencian.
Maka, ketika belakangan ini meroket tagar #bubarkanFPI yang berbalas dengan #saveFPI dan tagar-tagar lainnya, sungguh hal itu membuat kita bertanya-tanya. Seperti diketahui, tagar itu dipicu oleh sebuah petisi yang dimaksudkan untuk membubarkan FPI.
Berawal dari masa tenggang Ormas dengan tagline ‘amar ma’ruf nahi munkar di Kemendagri ini, lalu seorang bernama Ira Bisyir merespon dengan melambungkan penolakan perpanjangan izin FPI lewat sebuah petisi di kanal change.org.
Tak tinggal diam, salah satu elite FPI Sobri Lubis merespon petisi itu dengan tudingan bahwa pihak yang menginginkan FPI bubar adalah para pegiat maksiat.
Terlepas dari ada tidaknya muatan politis yang menyelimutinya, memang, setiap umat beragama pasti merasa resah dengan adanya praktik maksiat. Akan tetapi, upaya pengentasan yang meledak-ledak dan disponsori oleh nalar kebencian atas nama perintah agama, rasanya juga kurang elegan dan justru di titik tertentu akan merusak marwah agama itu sendiri.
Tapi menariknya, sebagaimana dicatat Verena Beittinger-Lee dalam (Un)civil Society and Political Change in Indonesia, tindakan yang seolah penuh dengan kesewenang-wenangan dan main hakim sendiri itu sekaligus menunjukan kalau pemerintah dalam hal ini masih lemah, kalau bukan gagal dalam menjamin atau memenuhi fungsi-fungsinya dalam konteks, misalnya, perlindungan, hukum, keadilan, dan lain-lain.
Karenanya cukup “wajar” kalau kemudian terdapat pelanggaran moral tertentu, kelompok-kelompok masyarakat, salah satunya, yang sering diperagakan FPI ini terkadang mengambil inisiatif untuk memberi hukuman di luar mekanisme hukum positif.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Ntahlah.
Yang jelas, kita tunggu saja sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menjawab persoalan ini. Dan, tentu saja seberapa jauh warga negara, utamanya umat Islam Indonesia bisa sedikit lebih dewasa sekurang-kurangnya tidak merasa jumawa dengan populasinya dan tidak membajak nama Tuhan untuk menyalurkan hasrat menang-menangan.
Lagi pula, membayangkan FPI bubar rasa-rasanya juga sulit. Selain faktor pengaruh HRS yang cukup signifikan tiga tahun terakhir ini, tanyalah Pak Wiranto kalau nggak percaya. Tumpang-tindih, tumpang-tindih.