Di Pilpres kali ini yang dikhawatirkan bukan hanya polarisasi yang sangat tajam antara kubu pendukung petahana yang dijuluki sebagai cebongers dengan kelompok pendukung oposisi yang dijuluki sebagai kampreters. Akan tetapi, yang lebih menegangkan dari itu adalah dibumbuinya polarisasi kedua kubu itu dengan isu agama, politik aliran dan politik identitas.
Pada masa awal kampanye, kedua kubu saling menarasikan diri dan mencari legitimasi dari para tokoh agama untuk memberikan klaim bahwa mereka didukung oleh umat Islam. Nah, ini yang membedakan dengan Pilpres yang sebelum-sebelumnya. Pilpres sebelumya, para kandidat Pemilu untuk mencari simpati calon pemilih, mereka berusaha menemui kalangan miskin kota dan petani untuk mencari legitimasi sebagai representasi rakyat.
Nah, kini nampaknya secara pelan-pelan mulai berubah. Kosa kata “rakyat” sudah agak pudar dan tak bernilai jual untuk elektabilitas dalam Pilpres kemarin ini. Ada kosa kata lain yang lebih menjual dari kosa kata lama, yakni “umat”. Kini kosa kata “umat” sangat penting untuk menjadi legitimasi para kandidat untuk maju dalam gelanggang pemilihan umum.
Perubahan ini barangkali tak datang begitu saja, secara sosiologis memang ada banyak yang berubah dari masyarakat kita di bawah. Konon katanya saat ini karpet merah abangan di pedesaan semakin memudar dan berubah semakin menjadi putih relijius. Artinya, nilai-nilai sosial yang dipercayai oleh masyarakat kini semakin relijius.
Dan apa dampaknya? Hal itu kemudian menentukan preferensi masyarakat dalam memilih pemimpin dalam pemilihan umum. Kini bukan lagi mencari calon pemimpin yang paling berpihak kepada rakyat kecil yang kebanyakan adalah petani dan kaum miskin kota. Yang menjadi kriteria adalah kesalehan relijius kandidat.
Dan hal ini terbukti, dari Pilpres yang lalu panorama politik identitas semakin mengeras. Suatu kandidat melakukan kampanye di masjid yang mengajak para jamaah masjid untuk memenangkan salah satu kandidat dengan alasan yang sangat memecah belah perbedaan.
Penggunaan politik identitas dalam pemilihan umum bukanlah tanpa resiko. Resikonya sangat besar, yakni menjadi sangat sulit membedakan mana sebenarnya seruan dakwah keagamaan dengen seruan kampanye politik. Karena, belakangan yang terjadi adalah para agamawan juga terlibat menjadi juru kampanye Pemilu secara langsung.
Begitu banyaknya agamawan yang terlibat langsung dalam kampanye politik seolah mengamini perdebatan teoritisi modernitas pada dekade orde baru yang lalu bahwa agamawan hanyalah sebagai cultural broker atau makelar budaya saja. Artinya, tokoh agama hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh para politisi saja.
Hal ini terlihat dari fenomena pasca Pilpres seperti sekarang. Dimana ada salah satu calon yang secara sepihak mendeklarasikan diri sebagai pemenang Pemilu hanya dengan dasar perhitungan tim internal. Dan para tokoh agama yang berada dalam tim kampanyenya hanya mengiyakan saja dan malah justru membumbuinya dengan takbir dan seolah sebagai pemenangan umat Islam.
Padahal, sepatutnya peran agamawan bukan hanya seremeh-temeh demikian itu. Agamawan alangkah baiknya tak hanya menjadi alat legitimasi dan mau untuk begitu saja didikte oleh seorang politisi. Peran agamawan dalam konteks pertarungan politik sebaiknya adalah sebagai intellectual organic. Intelektual murni yang tetap menjaga jarak dari pertarungan politik.
Kenapa harus demikian? Karena dalam suasana yang penuh ketegangan menunggu hasil resmi Pemilu seperti sekarang ini, seharusnya agamawan tak larut begitu saja hanya mengikuti apa yang dinarasikan oleh politisi. Tetapi harus dapat berperan menjadi bantal sosial. Di tengah pertikaian yang sengit, agamawan dapat menjadi penengah dan pendamai situasi.
Dan peran yang sangat vital para agamawan saat ini adalah menjadi pendorong terjadinya rekonsiliasi sosial antar dua kubu yang bertarung. Para agamawan perlu memberikan narasi baru bahwa Pemilu sudah selesai, sudah saatnya fanatisme dukungan kepada kandidat dialihkan menjadi fungsi pengawasan.
Setelah Pemilu selesai, para kandidat yang menang akan menjalankan amanah jabatan politiknya. Sedangkan, para pendukung fanatik harus kembali lagi menjadi masyarakat sipil yang memiliki beban untuk terus mengawal kinerja dan kebijakan para pemimpin yang sudah dipilih untuk tidak melenceng dari amanat rakyat dan janji politiknya. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.