Syaikh Muhammad Shalih bin Umar Assamaraniy yang kita kenal sebagai Mbah Sholeh Darat Semarang (1820-1903) menulis, “Wajib ingatase wong mu’min ingkang shadiq arep-arep gegeyongan gandulan marang Allah subhaanahu wata’ala blaka. Tegese aja pisan sira cecekelan marang liyane Allah. Ilmu nira utawa ibadah ira iku ora kena kok andelaken. Tegese aja niqadaken sira setuhune amal ira iku dadi manjingaken marang suwarga lan nyelametaken saking neraka iku ora. Utawa dadi bisa nekakake maring Allah subhaanahu wata’ala iya ora.”
(Orang mukmin yang benar wajib berupaya untuk hanya bergantung kepada Allah yang Mahasuci dan Mahaluhur. Artinya jangan sampai berpegangan kepada selain Allah. Ilmumu maupun ibadahmu tak dapat kamu andalkan. Artinya kamu jangan sampai merasa bahwa usaha dan perbuatanmu bisa membuatmu berada di surga dan menyelamatkanmu dari siksa neraka. Atau menjadi sebab sampaimu kepada Allah, sama sekali tidak!).
Kalimat di atas merupakan terjemah dari aforisma Syaikh Ibn ‘Athaillah Sakandariy dalam kitab Al-Hikam, “Min ‘alamatil i’timaadi ‘alal ‘amali, nuqshaanur rajaa’i ‘inda wujuwdiz zalal.” (Sebagian tanda bagi seseorang yang sangat mengandalkan subjektivitasnya dalam berusaha, adalah berkurangnya pengharapan pada kemurahan Allah saat mengalami kegagalan).
Terjemahan aforisma di atas ditulis oleh Mbah Sholeh Darat 148 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1289 Hijriyah. Alhamdulillah, salah satu dari karya agung ulama nusantara yang menjadi guru pendiri ormas Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) dan Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy’ari) tersebut, telah dicetak dan disebarluaskan kembali oleh penerbit Karya Toha Putra Semarang pada tahun 1422 H (15 th silam). Artinya, jika ada pembaca yang berminat mendalaminya tidaklah terlalu sulit untuk memperolehnya di toko-toko kitab.
Entah kebetulan atau tidak, salah satu murid Kyai Ahmad Dahlan adalah Pangeran Suryomentaram, putera Sultan Yogyakarta Hamengku Buwana VII yang belakangan dikenal sebagai Ki Ageng Suryomentaram. Laku hidup Pangeran Suryomentaram ini mirip sekali dengan Sidharta Gautama atau Ibrahim bin Ad-ham. Yaitu sama-sama meninggalkan lingkungan istana kerajaan untuk menemukan pencerahan. Dan, penjelasan Mbah Sholeh Darat di atas menurut saya terwakili oleh kisah Ibrahim bin Ad-ham.
Wallahu A’lam.