Ketika seseorang yang tidak kita kenal datang mendekati kita, meminta bantuan, entah uang atau makanan, lalu hati kita tersentuh dan tangan kita tergerak untuk menyisihkan sebagian harta kita, disitulah letak keindahan berbagi. Tidak ada motif dan alasan apa pun kecuali rasa belas kasih itu sendiri: Suatu tindakan spontan yang lahir dari dorongan hati (Erica Bornstein, 2009).
Uniknya, dorongan yang berdasar pada rasa belas kasih itu kebanyakan malah dimiliki oleh anak-anak. Perhatikan saja, dengan kesucian hatinya, anak-anak itu rela berbagi makanan kepada temannya tanpa memandang agama, warna kulit, latar belakang, dan identitas lainnya. Terkadang, mereka secara tiba-tiba berinisiatif membawa bekal lebih dari rumah karena ingin berbagi kepada temannya di sekolah. Saat kita ajak ke luar untuk membeli makanan atau mainan, mereka seringkali teringat adiknya yang di rumah atau sahabat sepermainannya. Alangkah indahnya jiwa anak-anak itu!
Tapi kenapa semakin dewasa rasa belas kasih yang murni itu kian memudar? Kita, orang-orang dewasa, tumbuh menjadi manusia rasional yang semakin banyak perhitungan. Rasa belas kasih sebagai sesuatu yang fitri itu mulai tercampuri dengan kecurigaan dan pertimbangan-pertimbangan akali, misal semacam ini: jangan memberikan uang kepada pengemis, nanti mereka tuman!; jangan sembarangan memberi bisa jadi itu hanya modus penipuan; atau jangan memberi kepada anak jalanan, mereka itu tanggung jawab negara!
Agama dan Rasa Belas Kasih
Karena rasa belas kasih adalah sesuatu yang fitri, sebenarnya tanpa hadirnya agama pun rasa belas kasih itu tetap ada dan menjadi satu paket dalam diri kita. Agama dan kepercayaan hadir untuk terus mengingatkan kita kepada yang fitri, kepada rasa belas kasih yang murni semata-mata karena Tuhan.
Di dalam penelitiannya terhadap sejumlah suku primitif, Marcel Mauss (1966) menegaskan bahwa bentuk paling purba dari tradisi berbelas kasih adalah dilandasi oleh kepercayaan. Mereka, masyarakat primitif, harus mengorbankan sesuatu kepada dewa agar mendapatkan balasan kebaikan dari sang dewa.
Di dalam Islam kita mengenal konsep sedekah, di dalam Yahudi disebut zedaka, dan derma dalam tradisi agama Hindu. Semua itu menyerukan kepada umat beragama untuk berbagi, berbuat kebajikan, dan pengorbanan kepada sesama atas nama Tuhan. Sehingga, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa belas kasih adalah salah satu atau bahkan inti dari ajaran agama itu sendiri!
Namun, lagi-lagi, kenapa rasa itu seolah luntur seiring kita tumbuh dewasa? Mungkin karena adanya potensi dalam diri kita untuk memiliki semuanya, menjadi serakah, mementingkan kepentingan diri sendiri, sampai-sampai Tuhan harus memberikan iming-iming agar kita tetap berbagi.
Kita memberi tidak lagi dilandasi rasa belas kasih sebagaimana jiwa anak-anak itu, melainkan karena motif lain yang dijanjikan Tuhan: mengharap balasan materi berlipat dari karunia Tuhan, mendapatkan kemakmuran dalam hidup, sebagai tolak balak, dan lainnya. Di dalam Al-Quran, ayat yang sering digunakan untuk menyeru kepada laku kedermawanan ini diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 261:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini tidak jarang digunakan oleh lembaga-lembaga amal untuk menarik perhatian umat Islam agar menyisihkan sebagian hartanya. Terkadang, juga disertai testimoni-testimoni tentang keajaiban bersedekah. Apakah itu salah? Tentu saja tidak!
Sebaliknya, kita justru harus berterimakasih kepada agama karena ajaran agamalah yang menjadi salah satu pengingat agar kita kembali kepada yang fitri, kepada jiwa anak-anak yang suci. Mungkin, setelah kita terbiasa memberi kita tidak lagi terpesona dengan iming-iming itu, melainkan karena semata-mata kesadaran bahwa kita diciptakan Tuhan untuk berbelas kasih kepada sesama. Kita dilatih secara perlahan untuk kembali kepada yang suci, memberi dan berbagi karena dorongan hati nurani. Hati yang dipenuhi dengan sinar ilahi.
Pertanyaannya, jika rasa belas kasih itu hilang dari diri kita, apakah masih pantas kita disebut sebagai manusia? Jika rasa belas kasih sebagai sesuatu yang fitri itu adalah inti ajaran agama, kenapa masih ada tindakan biadab atas nama agama? Oh, dunia memang penuh dengan ironi & kontradiksi-kontradiksi.