Usaha Dinasti Abbasiyah (dari Khalifah al-Mansur sampai masa al-Ma’mun hingga masa-masa sesudahnya sampai abad X M) untuk menerjemahkan buku-buku asing secara besar-besaran tampil begitu mengesankan, sehingga ilmu pengetahuan semakin berkembang dan meluas di tangan kaum muslimin.
Ilmu-ilmu “non-agama” atau disebut dengan ilmu aqliyah, dikenal dengan ilmu-ilmu klasik (ulum al-Qudama atau awail) adalah ilmu filsafat, kedokteran, olahraga, arsitekstur, aljabar, mantiq, ilmu falaq, ilmu alam, kimia, music, sejarah, geografi dan lainnya.
Ilmu-ilmu tersebut diadopsi oleh komunitas Muslim dengan antusias dan apresiatif. Menurut Nakosten, ada beberapa faktor penting yang menjadikan ilmu-ilmu asing tersebut bisa tersebar di kalangan umat Islam, yaitu:
Pertama, Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Ortodoks yang mewakili penguasa Byzantium atas sekte-sekte Kristen. Sekte-sekte ini mencari tempat yang lebih kondusif dan aman ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan kerajaan Sasania dan mereka yang juga menyebar ke semenanjung Arabia. Mereka yang menyebar ini membawa tradisi ilmiah Yunani dan Helenisme, terutama di bidang kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan teknologi, lalu mengembangkannya di suatu tempat baru yang mereka huni.
Ketika umat Islam menaklukkan kerajaan Romawi dan Sasania, penganiayaan Kristen Ortodoks mendorong kelompok-kelompok minoritas untuk menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang dikenal toleran terhadap orang yang berbeda agama, budaya, dan kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini menjalin persahabatan yang baik dengan komunitas Muslim dan membuka jalur transmisi pengetahuan yang mereka bawa.
Selain itu penaklukan Alexander Agung terhadap Mesir, Persia dan India yang secara otomatis disertai dengan transmisi ilmu pengetahuan Yunani ke daerah-daerah tersebut. Pada babakan sejarah berikutnya ilmu pengetahuan ini dikembangkan dan diperkaya dengan polesan tradisi lokal sebelum pada akhirnya ditransmisi ke dalam peradaban Islam.
Kedua, Nakosten menambahkan bahwa ada peranan Akademi Jundi Syapur yang berhasil memadukan tradisi ilmiah dari berbagai kawasan budaya India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew, dan Persia.
Di tempat ini pula penerjemah ilmu pengetahuan kuno menyebarkannya kepada kaum muslim sampai tugas ini diambil alih oleh Baghdad di Timur dan Sisilia serta Cordova di Barat dan juga sebagai tempat kegiatan ilmiah bangsa Yahudi yang menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Ibrani dan Arab pada masa pra-Islam (Nakosteen, 1968: 18-20).
Masuk dan berkembangnya ilmu-ilmu asing ini memaksa umat Islam untuk merekonstruksi sistem pendidikan yang masih berlangsung dengan dominasi “Ilmu-ilmu agama” dalam kurikulum pengajarannya. Terjadi proses tarik menarik dalam merespon keadaan ini. Institusi- institusi pendidikan Islam hingga masa ini berada dalam otoritas ulama yang menguasai al-ulum al dinniyah.
Menurut data sejarah, ternyata ilmu-ilmu non agama, berhasil bukan hanya diadopsi, akan tetapi berhasil dikembangkan sedemikian rupa hingga masa-masa itu Islam disebut-sebut oleh sejarahwan sedang menguasai panggung peradaban dunia di saat Eropa dan belahan dunia lain berada dalam kegelapan (the dark age). Hal tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat mengungkap pengalaman historis sosiologis umat Islam dalam memperkenalkan dan memposisikan ilmu di masa klasik (Arief, 2005:106-107).
Para ilmuwan diutus untuk mencari naskah-naskah Yunani ke Bizantium dalam berbagai bidang ilmu seperti “filsafat dan kedokteran”. Perburuan dalam menemukan manuskrip-manuskrip di dunia Timur (Persia) seperti dalam bidang Tata Negara dan sastra, juga dilakukan. Bahkan al-Ma’mun sendiri mewajibkan kepada seluruh pejabat pemerintahan untuk menguasai dua bahasa, agar menambah tenaga penerjemah buku tersebut. Haran sebuah kota yang berada di Mesopotamia adalah salah satu jalur yang sering dilalui dan banyak penduduknya yang berbahsa Yunani.
Munculnya Gerakan Penerjemah
Pengembangan ilmu pengetahuan telah dimulai pada zaman klasik, hal ini terjadi dikarenakan faktor yang dominan dari Alquran dan sunnah yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan serta mempelajari warisan berbagai budaya dan ilmu pengetahuan disekitar daerah tersebut, dengan cara menerjemahkannya.
Upaya ini sebetulnya sudah dimulai pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayah), akan tetapi baru berkembang pesat pada zaman Khalifah al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah). Melalui Baitul Hikmah, yang didirikannya, al-Ma’mun berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai manuskrip peninggalan ilmu pengetahuan tersebut dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Melalui tradisi penerjemahan ini, lahirlah para ilmuwan dari umat Islam yang mencapai prestasi yang melewati para ilmuwan sebelumnya, seperti: al-Khawarizmi dalam bidang fisika, Abd. al-Jabar dalam bidang matematika, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Razi dan al-Zahrawi dalam bidang fisika, matematika, seni, pemerintahan, farmakologi dan kedokteran, al-Farabi dalam bidang tasawuf.
Masa al-Ma’mun merupakan fase kedua setelah zaman al-Mansur sampai Harun al-Rasyd. Saat al-Ma’mun berkuasa, ia sangat mendukung penuh pengembangan ilmu pengetahuan baik dari segi politik, ekonomi, maupun fasilitas, bahkan muncul juga gerakan penerjemahan yang berlangsung dari masa pemerintahannya hingga tahun300 H.
Buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma’mun adalah buku-buku filsafat dan kedokteran. Pada masa al-Ma’mun juga telah tersedia pabrik kertas yang sangat membantu program pengembangan keilmuan ini.
Melalui gerakan penerjemahan inilah, para ulama Islam bukan hanya mampu menguasai ilmu agama saja, melainkan lebih dari itu, para ulama dapat menguasai ilmu-ilmu umum, seperti: astronomi, fisika, matematika, pemerintahan, filsafat, kedokteran, geografi, biologi, sastra, dan lain sebagainya.
Wallahu A’lam.