Dalam salah satu riwayat Ibnu Abbas, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’banul Iman, disebutkan ada delapan poin dalam surat al-Nisa’ sebagai kabar gembira bagi umat Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah Allah memberi keringanan (dispensasi) karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah (huliqa al-insanu dha’ifa) (al-Maraghi: 5, 15). Dalam riwayat ini muncul beberapa pertanyaan diantaranya adalah apa yang dimaksud dengan lemah (dha’if) sehingga manusia mendapat keistimewaan serta apa makna dan maksud dalam QS. Al-Nisa’ ayat 28?
Surat al-Nisa’ ayat 28 yang dimaksud adalah:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
Secara tekstual, terlihat bahwa manusia (al-insan) tanpa melihat perbedaannya, baik laki-laki ataupun perempuan, adalah mahluk yang diciptakan dalam keadaan lemah. Namun, merekam maksud dan tafsir sebuah ayat sangat membutuhkan wacana ulama klasik agar perjalanan tafsir tidaklah terputus sejarahnya. Untuk itu kita perlu menyimak bagaimana komentar ulama tafsir klasik terkait ayat ini.
Ibnu Jarir al-Thabari (224-330 H) dalam karya monumentalnya Tafsir al-Thabari (2001, Vol. 6, h. 624) menyebutkan bahwa ayat ini adalah bentuk legalitas untuk menikahi budak, sebuah kemudahan yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad. Adapun pertimbangan yang digunakan dalam masalah diperbolehkannya menikahi budak adalah bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah untuk menahan hasrat seksualnya, apalagi meninggalkannya. Diperbolehkannya menikahi budak ketika takut akan terperosok dalam perbuatan zina sedangkan tidak mampu atau belum ada kesempatan untuk menikahi perempuan yang merdeka.
Disini al-Thabari menafsiri kata dhaif (lemah) dalam arti lemah untuk menahan hasrat seksual. Diantara data riwayat yang digunakan oleh al-Thabari dalam usahanya menafsiri ayat tersebut adalah riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Basysyar bahwa beliau mendapatkan informasi dari Abu ‘Ashim dari Sufyan dari Ibnu Thawus dari ayahnya, beliau berkata: maksud dari ayat wa huliqa al-insanu dha’ifa adalah terkait masalah hubungan dengan perempuan (seksualitas). Senada dengan riwayat ini, sebuah riwayat yang diceritakan dari Hasan bin Yahya dari ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Thawus dari ayahnya. Namun dalam riwayat terakhir ada sedikit tambahan keterangan yaitu manusia akan menjadi paling lemah ketika berkaitan dengan perempuan (Tafsir al-Thabari: 2001, Vol. 6, h. 625).
Penafsiran senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir ( w. 774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-’Adzim atau lebih dikenal dengan sebuatan Tafsir Ibnu Katsir. Bahkan Ibnu Katsir (1991, Vol. 2, h. 324), dengan mengutip statement Waqi’, menyebutkan, ketika seorang laki-laki berhadapan dengan perempuan maka akan hilanglah akalnya (kesadaran normalnya).
Menilai bahwa menikahi budak sebagai dispensasi dan kemurahan yang telah Allah berikan menunjukan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam struktur masyarakat Arab waktu itu masih sangat kuat. Sudut pandang pada laki-laki yang menjadi objek utama dalam penafsiran ini menambah kuatnya dugaan struktur tersebut. Sehingga dari penafsiran tersebut memunculkan pertanyaan apakah yang lemah hanyalah laki-laki? Kenapa perempuan dalam cara berfikir Arab selalu diklaim sebagai mahluk paling lemah?.
Ketika penafsir konsisten dengan jalan pikirnya tatkal menafsiri QS. Al-Nisa’ ayat 28 ini, dalam artian bahwa laki-laki adalah mahluk Tuhan yang diciptakan dalam keadaan lemah, maka narasi yang sering digunakan untuk menilai perempuan sebagai mahluk lemah, yang syarat dengan tujuan untuk mendiskreditkan perempuan, perlu untuk diralat dan ditaubati. Bukankah laki-aki juga, bahkan dalam pandangan ulama tafsir dipahami dari teks agama yang jelas, adalah mahluk yang lemah. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk itu, sudah saatnya berhenti dari kata “lemah”.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah sebagaimana bisa diperhatikan dalam tekstualitas ayat dan penafsiran ulama masa lalu. Letak kelemahan antara laki-laki dan perempuan ada porsi dan wilayahnya sendir-sendiri. Karena saling memiliki kekurangnya masing-masing, laki-laki dan perempuan berperan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan pasangannya. Kelemahan ini juga mengandung hikmah untuk saling menghargai satu sama lain, tidak menganggap paling benar.
Tulisan ini penulis coba untuk menutupnya dengan statement Imam Syafi’i: pendapatku adalah benar namun memiliki kemungkinan salah, pendapat selainku adalah salah namun memiliki kemungkinan kebenaran. Wallahu a’lam bi al-shawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir alqur’an.