Sebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama yang penuih dengan kemurahan (yasar), bukan agama yang serba memberatkan (‘usr). Diantara kemurahan dalam Islam ditunjukkan diantaranya ialah dengan memberikan dispensasi (rukhsah) berupa meringkas shalat saat kita sedang bepergian atau menjadi seorang musafir. Mekanisme meringkas shalat tersebut biasa kita sebut sebagai qasar.
Tidak semua salat bisa diqasar. Hanya shalat yang berjumlah empat rakaat yang diringkas pengerjaannya hanya menjadi dua raka’at. Shalat-shalat tersebut ialah Dzuhur, Ashar dan Isya. Untuk shalat Maghrib dan Shubuh tidak mendapatkan dispensasi qashar.
Meskipun demikian, ada beberapa dari kita yang kadang-kadang mengalami kebingungan, karena meskipun dia tahu dia sedang bepergian sehingga boleh mengqashar salat, namun rasanya kurang afdhal kalau shalat yang dia lakukan tidak disempurnakan menjadi empat rakaat (itmam).
Hal tersebut sebenarnya pernah disinggung oleh Imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam Al- Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz. I, h. 193:
قال الشافعي رحمه الله: وأحب أن لا يقصر في أقل من ثلاثة أيام وإنما استحب ذلك ليخرج من الخلاف فإن أبا حنيفة رحمه الله لا يبيح القصر إلا في مسيرة ثلاثة أيام
Artinya: “Imam Syafii berkata: “Aku lebih suka tidak mengqashar salat pada perjalanan yang kurang dari 3 hari. Aku menyukai hal itu agar terbebas dari perbedaan pendapat karena Imam Abu Hanifah RA tidak memperbolehkan qashar kecuali pada perjalanan yang lebih tiga hari.””
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pahami dari pendapat Imam Syafii tersebut, yakni pertama bahwa beliau memperbolehkan qashar shalat bagi seseorang yang durasi perjalanannya kurang dari 3 hari, hanya saja beliau kurang menyukai hal tersebut, dan kedua bahwa Imam Abu Hanifah hanya memperbolehkan qashar bagi yang durasi perjalanannya kurang dari 3 hari.
Sebaliknya, jika durasi perjalanan adalah lebih dari tiga hari, maka sudah pasti yang lebih utama adalah melakukan qashar. Selanjutnya, agar tidak salah paham, maka perlu diingatkan kembali bahwa diperbolehkannya qashar itu sejak awal perjalanan, yakni ketika seorang musafir telah keluar dari desa tempat tinggalnya, bukan sejak hari ketiga perjalanan.