Seorang teman mengirim pesan ke saya. “De, kamu tahu nggak,” sapanya. “AW teman kita tiba-tiba menikah secara Muslim. Dia jadi muallaf. Aku rasanya seperti patah hati.”
Saya tertegun. Bukan karena mendengar AW menikah dan menjadi muallaf. Saya tertegun karena kawan saya ini adalah orang yang saya kenal sangat toleran.
Kawan saya ini, sekalipun menganut Katolik, tidak sedikit pun pandangannya selaras dengan doktrin gereja. Dia tidak keberatan dengan pernikahan sesama jenis. Dia menghadiri beberapa upacara perkawinan sesama jenis.
Dia mendukung aborsi dan menganggapnya sebagai hak kaum perempuan untuk mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri.
Tapi menyaksikan kawan kami bersama berpindah iman? Rupanya ini agak berat untuknya.
Saya menjawab pesannya itu pendek saja. “Mengapa harus sedih dengan kebahagian seorang kawan?” Saya tidak mendengar darinya sampai beberapa hari.
Hari ini dia membalas pesan saya itu. “Setelah berpikir lama, iya benar juga. Mengapa saya harus sedih ya? Seharusnya saya juga ikut merasakan kegembiraan AW.”
Saya memutuskan untuk menelponnya. Kami berbincang hampir sejam. Topiknya apa lagi kalau bukan AW.
Kami mengenal AW sebagai aktivis gereja. Dia Katolik yang serius. Dia pernah mampir di Seminari, sekolah yang mendidik calon imam (pastur) Katolik. Dia menyenangi filsafat dan teologi. Bahkan mengambil beberapa kursus teologi.
Dengan kata lain, AW membekali dirinya secara cukup sebagai Katolik. Tidak itu saja. Dia dianggap sebagai ‘role model’ Katolik yang baik. Dia populer di kalangan gereja. Dia sering menjadi pembicara untuk kalangan muda Katolik.
Mengapa dia berpindah iman?
Dalam percakapan telpon itu, saya dan kawan saya itu, sepakat untuk tidak memasuki wilayah itu. Maksudnya, kami tidak mempertanyakan mengapa AW berpindah agama. Kami menghormati keputusannya.
Saya bertanya, bagaimana kawan-kawan lain? Yang menggembirakan untuk saya bahwa hampir tidak ada kawan yang mengecam pilihan AW. Saya mengintip media sosial AW. Ternyata banyak kawan yang kami kenal memberikan selamat dan mendoakan agar dia bisa membangun keluarga yang bahagia. Saya percaya mereka tulus.
Yang saya tanyakan kepada kawan saya di ujung telpon adalah justru mengapa kamu merasa sedih karena AW menjadi muallaf?
Saya bisa mendengar dia menarik napas. Berat. Terhenti sejenak. “Entah, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Kami banyak kerja bareng. Kalau saja dia tidak saya kenal, atau kenal tapi tidak dekat, mungkin saya tidak akan merasa kehilangan.”
Tapi bukankah AW tidak mati? Dia tetap hidup dan bisa dihubungi untuk bikin sesuatu bersama? Sergah saya.
“Ya, tidak akan bisa seperti dulu lagi. Saya tidak lagi bisa bicara hal-hal rohani dengannya. Juga tidak bisa mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi gereja. Kami melihat ada banyak masalah dengan gereja. Tapi tidak ada sedikitpun pikiran untuk meninggalkan gereja.”
Saya menjelaskan alasan saya bertanya adalah untuk memastikan bahwa rasa kehilangan itu bukan karena kuatir jumlah orang Katolik yang semakin menurun.
Kemudian kami berbincang tentang apa artinya menjadi Katolik di jaman ini. Saya kembali litani lama saya. Bahwa pada suatu masa gereja Katolik Indonesia pernah sangat dekat dengan penguasa.
Gereja tidak pernah mempertanyakan kelakuan penguasa tersebut. Bahkan gereja diam-diam mendukung ketika wilayah yang penduduknya mayoritas Katolik dianeksasi dan ratusan ribu penduduknya tewas akibat perang. Aneksasi itu diam-diam diafirmasi oleh gereja. Mungkin karena dipikir bahwa aneksasi itu akan menambah jumlah penduduk Katolik di negara ini.
Orang-orang Katolik juga berperan dalam manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua. Bahkan ada imam Indonesia yang bekerja di Papua dan tahu persis apa yang terjadi ikut menyuarakan keprihatinannya. Namun gereja Katolik Indonesia diam seribu bahasa. Sama seperti sekarang, gereja Katolik Indonesia diam atas apa yang terjadi di Papua.
Saya juga memperlihatkan kenyataan bahwa rakyat paling miskin di Indonesia adalah rakyat yang beragama Katolik. Cobalah lihat di Flores, Sumba, sebagian Timor, Papua, Kei (Maluku) dan pedalaman Kalimantan Barat. Wilayah-wilayah itu adalah wilayah dimana sebagian besar umat Katolik Indonesia hidup. Namun, sebagian besar umat Katolik ini juga hidup dibawah garis kemiskinan.
Lihatlah di sudut-sudut gereja, perempuan-perempuan muda khusuk berdoa di hari Minggu. Mereka menghindar dari orang banyak. Kentara bahwa mereka orang asing. Kentara dari wajahnya mereka lelah.
Perempuan-perempuan muda dari Sumba atau Flores itu terpaksa harus keluar dari desanya karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka menjadi pembantu di kota-kota besar.
Perut saya melintir mulas ketika suatu kali ketemu seorang ibu di sebuah gereja di Jakarta yang dengan riang bercerita tentang pembantunya yang dari Flores. “Mereka lebih murah dibanding dengan orang Jawa. Cuman agak bodoh dan harus dikerasin ngajarnya,” katanya.
Saya geram karena saya tidak bisa menceramahi ibu ini soal perbedaan kebudayaan dan bagaimana gadis-gadis kecil ini harus membuat penyesuaian yang amat radikal untuk mampu hidup di kota seperti Jakarta.
Adakah gereja punya perhatian terhadap putri-putrinya yang hidup di rumah orang, bekerja 24 jam sehari, belum lagi kesepian teringat kampung halamannya?
Jadi, siapakah yang murtad disini, tanya saya kepada kawan diujung sana.
“Kita, sebagai gereja,” katanya mantap. Jelas bahwa dia memakai kata gereja dalam pengertian sebenarnya. Gereja yang adalah jemaat, umat, orang-orang yang mengikuti jalan Isa.
Jadi, kata saya, disitulah sesungguhnya letak persoalannya. Disitulah gereja seharusnya hadir.
“Ya,” katanya diseberang sana “sebagai gereja kita seharusnya mengulurkan tangan Tuhan kepada semua mahluk.”
Tiba-tiba saya teringat bahwa saya pun tidak pernah lagi ke gereja selama beberapa tahun terakhir ini.
Saya sudah tergolong murtad juga.