Masyarakat muslim Indonesia kebanyakan, khususnya dari kalangan NU, secara rutin mengikuti dan mengadakan peringatan tahunan wafatnya tokoh agama, yang kerap disebut dengan haul. Tradisi memperingati wafatnya leluhur dan tokoh masyarakat konon mengakar cukup kuat dalam budaya masyarakat Indonesia.
Melalui haul, para mendiang sesepuh dan ulama yang telah tiada “dihidupkan” lagi di tengah masyarakat. Semisal pada bulan ini, banyak kalangan mengadakan peringatan haul KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kesembilan. Demikianlah dalam berbagai forum haul beliau, gagasan dan teladan Gus Dur terus digaungkan dan dilestarikan.
Tokoh yang diperingati haul-nya selain dari mulai lingkup keluarga sendiri, kalangan kiai, juga dilaksanakan untuk kaum habaib. Banyak peringatan haul kalangan habib yang bisa kita ikuti tiap tahunnya. Di Jakarta misalnya, even seperti haul Habib Luar Batang, Habib Ali Kwitang, atau Habib Munzir Al Musawa, adalah gambaran bahwa para habib dan sayyid adalah sosok istimewa bagi kalangan muslim Jakarta, bahkan Indonesia.
Rupanya haul bisa dipandang tidak hanya semata persoalan budaya dan ajaran agama saja. Kegiatan ini adalah bagian dari dinamika sejarah dan konstruksi sosial masyarakat. Haul dipandang bukan hanya soal keberkahan, melainkan juga untuk meningkatkan apresiasi atas gagasan dan sejarah para tokoh yang diperingati haulnya itu.
Salah satu telaah yang menyorot persoalan haul sebagai sebuah fenomena sosial adalah artikel Ismail Fajrie Alatas, berjudul The Upsurge of Memory in The Case of Haul. Artikel ini memang menyorot lebih spesifik peringatan haul kalangan habaib dan sayyid di Indonesia. Meski begitu, analisisnya dapat digunakan untuk memberikan perspektif lain tentang fenomena haul di Indonesia secara umum.
Sebutan habib atau sayyid, konon berasal dari “kasta sosial” kaum Arab Hadrami masa lampau, namun tetap penting ditinjau sehubungan sejarah mereka di Indonesia. Kasta tertinggi diduduki para sayyid dan habib, dengan status silsilah mereka yang terhubung dengan Nabi Muhammad. Mengikuti mereka golongan para ulama yang secara nasab tidak bersambung dengan Rasulullah – para masyayikh atau Syekh, kemudian sisanya adalah dari kalangan saudagar atau orang biasa.
Sebagaimana dicatat Ismail Fajrie Alatas, para sayyid dan habib ini memiliki peran sosial yang penting, karena sebagaimana terjadi di Hadramaut, merekalah role model dalam persoalan keagamaan – kebanyakan malah dikenal sebagai waliyullah. Hingga migrasi mereka ke Indonesia, peranan ini tetap langgeng.
Sesampainya di Indonesia melalui arus migrasi besar-besaran pada kurun abad ke-18 dan 19, melalui ekses perdagangan maupun tujuan dakwah, para habib berinteraksi dengan masyarakat, tokoh agama dan penguasa setempat. Mereka memperkuat pengaruh mereka dalam dakwah Islam – mungkin juga sedikit banyak dalam kancah politik.
Kalangan habib ini ada yang dekat dengan penguasa setempat sehingga memiliki jabatan tinggi, seperti digambarkan pada kasus Habib Utsman bin Yahya di Batavia. Tak sedikit juga yang fokus pada pendidikan agama, seperti contoh mendirikan institusi pendidikan Jam’iat Kheir yang sampai sekarang masih aktif di Jakarta. Tak terhitung pula pesantren dan majelis taklim di seantero Indonesia sebagai wujud aktivitas dakwah mereka. Melalui kontribusi, pengayoman dan pengaruh itu, kalangan Arab Hadramaut – khususnya habaib dapat eksis dan mendapat tempat di hati masyarakat.
Hanya saja peranan para habib ini bukannya tanpa kritik. Otoritas keagamaan mereka, dikritik kalangan muslim yang terpapar gagasan modernitas. Posisi kaum habaib disorot karena dalam beberapa wacana, mereka dipandang masih terlalu kaku dan kurang memiliki semangat pembaruan.
Selain itu, para habib dan ulama yang dekat dengan penguasa kolonial pada masa pergerakan nasional, dipandang mencederai semangat nasionalisme. Kritik semacam ini tidak hanya dari luar lingkaran para habib, namun juga dari kalangan mereka sendiri yang lebih muda. Kaum “habib muda” ini mempertanyakan tradisi keagamaan dan pengaruh para sesepuh mereka ini dalam konteks masyarakat yang lebih majemuk dan kian dinamis kala itu.
Kritik keras ini turut menyebabkan terjadinya suatu arus generasi muslim baru yang lebih demokratis dan egaliter. Dalam kasus ini, kalangan habib bukan semata-mata orang yang berhak bicara agama dan mendaku memiliki akar budaya lebih dekat dengan Islam yang murni. Gagasan Islam modern mulai memberi warna dalam wacana keagamaan masyarakat.
Kembali ke persoalan haul. Jika diamati, haul ulama menjadi panggung bagi tokoh agama, baik dari kalangan kiai atau habaib, untuk menjaga eksistensi pengaruh dan gagasan keagamaannya di Indonesia. Kiprah para sesepuh, teladan ulama, kebijaksanaan para habaib, yang mungkin dalam beberapa hal bisa tampak kurang relevan karena arus zaman, ketika dihadirkan kembali dalam ajang haul, diharapkan memberi inspirasi generasi setelahnya.
Untuk kasus haul para habib, pengaruh Islam para pendakwah dari Arab – atau keturunan Arab – ini penting dan tidak bisa diabaikan dalam sejarah Indonesia. Apalagi bagi kiai dan ulama lokal yang lahir dan hidup dari tengah masyarakat, kontribusi mereka jelas terasa begitu dekat.
Bagi cendekiawan Pierre Nora, sebagaimana dikutip Ismail Fajrie Alatas, haul ini bisa menjadi ajang membangkitkan memori sejarah (upsurge of memory). Habib dan ulama yang telah wafat, dihidupkan lagi pengaruhnya di tengah masyarakat, berikut tafsir sejarah dan warisan-warisan intelektualnya.
Dengan demikian, haul sebagai suatu seremoni dan, meminjam istilah Bu Kalis Mardiasih dalam kolomnya di detik.com “haul sebagai monumen ingatan”, ajang peringatan tahunan wafatnya para ulama dan habaib ini bak pisau bermata dua: satu sisi, ia bisa memperkenalkan wajah Islam yang teduh ke banyak pihak, serta menyemai kebaikan dan keteladanan para tokoh Islam.
Namun di sisi lain, celah untuk meraih simpati massa yang melimpah pada even haul untuk sekadar tujuan politik praktis bahkan provokasi, adalah sebuah kehati-hatian yang mesti diperhatikan. Kekeliruan memilih sosok untuk memimpin atau mengisi haul, bisa memicu kegaduhan tersendiri di masyarakat. Semisal sang penceramah, melakukan ujaran kebencian tertentu. Keadaan ini, sangat mungkin terjadi, mengingat even keagamaan di tengah masyarakat kita adalah panggung yang istimewa lagi “menggiurkan”.
Padahal sekurang-kurangnya, orang yang datang haul ingin mendengar teladan kebaikan dan mencari keberkahan sosok yang diperingati itu, karena sebagaimana perkataan Sufyan bin ‘Uyaynah, salah seorang ulama Islam berpengaruh di era klasik: “Ketika disebutkan nama orang-orang saleh, maka rahmat akan turun.” Tentu semangat haul yang baik ini tidak patut dicederai.
Dengan demikian, ajang haul kiai dan habaib di Indonesia adalah sarana yang menjanjikan guna menyeru kedamaian Islam dan melestarikan kiprah para ulama dan habaib di Indonesia.
Wallahu A’lam.