Kisah Taubatnya Sya’wanah, Sang Sufi Perempuan

Kisah Taubatnya Sya’wanah, Sang Sufi Perempuan

Kisah Taubatnya Sya’wanah, Sang Sufi Perempuan
Sumber: www.litmusbranding.com

Mungkin ada sebagian dari kita yang belum pernah mendengar dan mengetahui siapa Sya’wanah itu. Namanya memang tidak sepopuler Rabi’ah Adawiyah dan sufi-sufi perempuan yang lain. Namun, tahukah Anda bahwa imam Ghazali saja terkagum-kagum dengan perempuan yang satu ini. Beliau dikenal suka menangis setiap disebut nama Allah.

Beliau ada Sya’wanah. Tinggal di Ubullah pinggiran sungai Tigris Persia. Beliau diperkirakan hidup sezaman dengan Fudhail bin Iyadh. Bahkan, satu riwayat mengatakan Syaikh Fudhail bin Iyadh pernah berkunjung ke rumahnya untuk meminta do’a.

Namun sebelum menjadi sufi, Sya’wanah adalah seorang perempuan yang hampir setiap hari pergi ke tempat-tempat hiburan. Suatu hari, ia bersama budak-budak wanitanya berjalan di salah satu gang di Bashrah. Ketika sampai di depan pintu rumah, ia mendengar suara teriakan. Ia pun berkata, “Subhanallah, begitu memilukan. Suara apa itu?.” Ia segera menyuruh budak wanitanya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Budak tersebut pergi namun tidak kembali. Ia kembali menyuruh salah satu budak wanitanya yang lain untuk melihat apa yang sedang terjadi. Si budak itu pun pergi, namun ia tak kembali.

Untuk kesekian kalinya, Sya’wanah memerintahkan salah seorang budak wanitanya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi sambil berpesan agar budaknya itu cepat kembali. Budak itu pun lalu pergi dan kembali seraya berkata, “Tuan putri, teriakan tadi bukan teriakan orang-orang yang sedang berduka karena ada yang sedang meninggal dunia, tetapi itu tangisan orang-orang yang sedang menyesali dosa-dosanya, tangisan orang yang sedih karena penuhnya catatan hidup mereka dengan goresan-goresan tinta hitam maksiat.”

Setelah mendengar laporan dari salah satu budaknya tersebut, Sya’wanah segera pergi ke balkon rumah itu. Ia melihat seorang pendakwah yang dikelilingi oleh sekelompok orang. Pendakwah itu sedang memberikan nasehat dan wejangan kepada mereka, mengingatkan mereka akan siksa Allah sehingga mereka bercucuran air mata. Ketika Sya’wanah ikut bergabung dengan mereka, sang pendakwah sedang membacakan ayat al-Qur’an, “Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan belenggu, mereka mengharapkan kebinasaan.” (Q.S. al-Furqan: 12-13)

Setelah mendengar lantunan ayat tersebut, Sya’wanah merasakan sakit dan kepedihan yang menyayat kalbunya. Ia kemudian berkata, “Wahai syaikh, aku adalah salah satu orang hina penghuni tempat sempit itu di neraka. Jika aku bertaubat, apakah Tuhan akan mengampuniku?.” Sang pendakwah menjawab, “Tentu, jika engkau bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, walaupun dosamu sebanyak dosa Sya’wanah.” Sya’wanah berkata, “Wahai Syaikh, Sya’wanah (Yang Anda sebut tadi) adalah saya, yang setelah ini tidak akan lagi berbuat dosa.” Sang pendakwah berkata, “Allah adalah Zat Yang Maha Penyayang dari segala penyayang, tentu engkau akan diampuni jika mau bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sebenar-benarnya.”

Sya’wanah pun menangis dan kemudian memerdekakan seluruh budak wanitanya serta menyibukkan dirinya dalam beribadah. Ia bertekad untuk menebus dosa-dosanya sampai tubuhnya kurus dan tak berdaya lagi. Pada suatu hari, ia memperliatkan tubuhnya sendiri, dan menyadari bahwa tubuhnya itu telah kurus dan lemah. Ia berkata, “Ah…di dunia ini saja tubuhku telah meleleh (kurus) sedemikian rupa, lalu bagaimana keadaanku kelak di akhirat?.”

Sya’wanah selalu menghidupkan malamnya dengan mengerjakan shalat, bermunajat kepada Tuhannya dan menangis karena takut kepada Allah. Ia sering menangis sehingga orang-orang merasa khawatir jika Sya’wiyah mengalami kebutaan karena terlalu sering menangis. Mereka melecehkan sikap Sya’wiyah tersebut. Tetapi dengan tenangnya ia menjawab, “Aku lebih senang jika harus buta di dunia karena terlalu sering menangis karena Allah, daripada aku harus buta di akhirat nanti karena percikan api neraka. Barang siapa di antara kalian mampu menangis, maka menangislah. Tetapi jika ia tidak bisa menangis, maka kasihilah orang yang selalu menangis karena dia mengetahui apa yang telah menimpa dirinya.”