Usaha dalam mengarahkan fiqih sebagai bagian dari orientasi sosial telah dilakukan oleh para fuqaha Indonesia sejak abad ke 17 Masehi. Rumusan pertama mengenai fiqih sosial Indonesia jika merujuk pada telaah yang dilakukan oleh Noor Huda di dalam Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, adalah oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693) di mana lewat karyanya yang bernama Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab, ia mencoba membuka ruang berfikir masyarakat Nusantara bahwa persoalan fiqih, tidak semata pure terhadap ritual ibadah vertikal semata.
Lebih jauh ia menginginkan adanya yurisprudensi Islam (fiqih) yang membahas masalah-masalah aktual seputar sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, jika memang yang ditarik adalah benang merah seputar itu, maka hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsep Maqashid Syariah.
Sejarah Maqashid Syariah sendiri berawal dari usaha Imam al-Syatibi seorang pakar fiqih yang hidup pada abad ke-VIII dalam mengkritik secara serius praktik penalaran deduktif (dari umum ke khusus) yang dilakukan para fuqaha kala itu mengenai suatu hukum. Dari usahanya itu, kemudian ia menekankan pentingnya penalaran induktif (dari khusus ke umum) demi untuk membumikan nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam fiqih atau membumikan konsep fiqih yang lebih manusiawi.
Walhasil, dari penalaran induktif itulah kemudian al-Syatibi menelurkan lima prinsip dasar kemanusiaan seperti (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Reproduksi, (4) harta, dan (5) akal budi yang menjadi embrio dan cikal bakal dari fiqih Indonesia yang berorientasi pada sosial.
Senada dengan hal itu, KH. Ahmad Sahal Mahfud dalam Pesantren Mencari Makna, menegaskan bahwa kelima prinsip dasar kemanusian yang dirumuskan oleh al-Syatibi sebagaimana dijelaskan di atas semata-mata ingin memberikan pemahaman kepada khalayak umum bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam ihwal ta’abbudi (penyembahan kepada Allah) dalam artian perintah dan larangan saja. Artinya jika persoalan itu tidak murni dalam wilayah interaksi antara hamba dengan Tuhan, maka nilai-nilai kemaslahatan sangat perlu dan dianjurkan untuk dipertimbangkan.
Di sinilah kemudian Fiqih Indonesia yang berbasis Social Oriented itu dipertautkan. artinya, penekanan yang dilakukan KH. Ahmad Sahal Mahfud terkait orientasi sosial dalam konteks fiqih adalah soal titik tekan hukum Islam terhadap maslahah umat, bukan justru menjadi beban bagi mereka.
Jadi penulis rasa pijakan dalam pencaharian maslahah dalam konteks hukum Islam, sebagaimana dipahami oleh KH. Sahal Mahfud sebenarnya lebih kepada upaya dalam memahami ushul fiqih yang anti terhadap pemahaman tekstual. Berangkat dari itulah mengapa al-Qarafi sebagaimana dikutip oleh Dr. As’ad Abd. Ghani al-Sayyid al-Kafrawi di dalam al-Istidlal inda al-Ushuliyyin menyebut: “al-Jumud ala al-Mankulat Abadan, Dhalaalun Fi al-Din, wa Jahlun Bimaqashidi Ulama’ al-Muslimin wa al-Salafiyyin al-Shaleh” Maksudnya adalah bersikap konservatif terhadap teks-teks keagamaan merupakan kesesatan di dalam beragama dan kebodohan terhadap apa yang dimaksud para ulama dan salafus shaleh.
Berbicara soal keterkaitan antara fiqih dan hubungan interaksi sosial, maka kita akan dihadapkan pada pemikiran guru bangsa kita, yakni KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal “Gusdur”. Penulis memilih pemikiran fiqih gusdur ini sebagai icon dari fiqih sosial ala Indonesia karena konsep yang digagas oleh beliau sarat akan nilai-nilai pluralisme humanis yang menjadi welstanchaung yang bergerak pada ranah kemanusian.
Hal itu pula yang diungkap oleh Saiful Arif yang menjadi mutarjim (penerjemah) pemikiran Gus Dur (baca jurnal: Gusdur, adalah Kebudayaan; Sebuah Filsafat politik) bahwa gerakan pribumisasi Islam yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep Fiqih Indonesia sebagai Social Oriented merupakan kegelisahan seorang Gusdur tatkala melihat fenomena keberagamaan di Indonesia yang cenderung memilih ke-arab-arab-an, dan sangat antipati terhadap kebudayaan lokal yang dianggap sinkretis serta tidak sesuai dengan syariat Islam.
Padahal sejatinya, dalam konteks hukum Islam itu sendiri, kearifan lokal tidak serta merta dibuang atau dijauhkan dari universalitas ajaran Isalm. Bukankah dalam kaedah fiqih dikatakan “al-‘Adah Muhakkamah”? Di sinilah kemudian Gusdur (sebagaimana diterjemahkan oleh Saiful Arif) menegaskan bahwa simbolisme agama telah membumi dalam kultur masyarakat, sehingga Islam mampu keluar dan menuju cita utama yaitu, demokrasi, (al-Syura), keadilah (al-‘Adalah), dan persamaan (musawah).
Berangkat dari paparan inilah, penulis menganggap bahwa fiqih sejatinya harus dinamis dan lentur, tidak rigid apalagi an sich terhadap teks, sehingga orientasi sosial yang lebih manusiawi terutama dalam kehidupan berislaman di Indonesia mampu dijewantahkan dengan baik!. Wallahu a’lam
Mohammad Khoiron adalah Pegiat Sosiologi Agama dan Islamic Studies. Pengurus GP. Ansor DKI Jakarta. Twitter: @MohKhoiron
Baca tulisan sebelumnya: Fiqih Indonesia, Fiqih Berorientasi Sosial (Bagian-1)