Bagaimana cara memanusiakan manusia oleh manusia yang sebenar-benarnya manusia? Sosok Kiai Hamid Pasuruan menjadi teladan dan inspirasi bagi kita semua. Kiai Hamid bukanlah kiai yang berjarak dengan umat dan santrinya, namun sebagai sosok wali dan kiai yang sangat memanusiakan manusia. Kiai Hamid memberikan nasihat dengan perlambang, sebagai cara untuk menasihati manusia agar menggunakan akal dan hatinya untuk memahami kehendak Allah dan perilaku alam.
Kiai Hamid lahir pada 1914 M/1333H, di desa Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Beliau lahir dengan nama kecil Abdul Mu’thi bin Abdullah bin Umar Basyaiban. Kiai Abdullah, ayahanda Kiai Hamid, merupakan menantu dari Kiai Shiddiq Jember. Nama Abdul Mu’thi berganti menjadi Abdul Hamid setelah beliau menunaikan ibadah haji.
Kakek Kiai Hamid, Kiai Shiddiq merupakan ayahanda dari dua kiai besar dalam jagad pesantren, yakni Kiai Mahfudh Siddiq dan Kiai Ahmad Siddiq. Secara genealogis, kedua orang tua Kiai Hamid, yakni Kiai Abdullah dan Nyai Rohannah, bersambung nasabnya dengan Syaikh Abdurrahman Sambu, seorang Wali Allah yang masih saudara dari Syaikh Ahmad Mutamakkin Kajen.
Dalam sebuat riwayat, Syaikh Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) merupakan putra dari Sayyid Muhammad Hasyim ibn Sayyid Abdurrahman Basyaiban ibn Sayyid Abdullah ibn Sayyid Umar ibn Sayyid Muhamamd ibn Sayyid Ahmad ibn Sayyid Abubakar Basyaiban ibn Sayyid Muhammad Asadillah ibn Sayyid Hasan at-Turabi ibn Sayyid ‘Ali ibn Sayyid Muhammad Faqih Muqaddam. Silsilah ini selanjutnya tersambung hingga Nabi Muhammad Saw. Syaikh Abduurrahman Sambu merupakan menantu dari putri Adipati Tedjo Kusuma I, penguasa pesisir Jawa pada kisaran abad XVII. Dengan demikian, silsilah Kiai Hamid bersambung hingga beberapa ulama di Jawa dan Hadrami.
Sejak kecil, Kiai Hamid merupakan petualang ilmu, sosok pembelajar yang haus akan pengetahuan. Beliau mengaji kepada Kiai Kholil bin Harun di Kasingan, Rembang. Kiai Kholil merupakan mertua Kiai Mustofa Bisri. Pada waktu itu, pesantren Kasingan dikenal dengan tradisi ilmu gramatika, yakni pusat pembelajaran nahwu, sharaf, dengan teks kajian kitab Ibn Aqil Syarh Alfiyyah Ibn Malik dan al-Mahalli.
Setelah nyantri di Kasingan, Kiai Hamid belajar di pesantren Tremas Pacitan. Di pesantren ini, Kiai Hamid meneruskan jejak kakaknya, Gus Zaini Abdullah yang lebih dulu mengaji di Tremas. Di pesantren ini, Kiai Hamid mengaji cukup lama, sekitar 12 tahun. Kiai Hamid suntuk mendalami kajian fiqih, tasawuf, kalam dan sastra. Tidak hanya itu, Kiai Hamid juga belajar bahasa Belanda dan menekuni ilmu kanuragan dan asma’.
Memanusiakan Manusia
Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) sangat hormat dengan sosok Kiai Hamid, yang menjadi teladan dalam sikapnya memanusiakan manusia. Gus Mus sering mengaji hikmah dari Kiai Hamid Pasuruan, tentang bagaimana memaknai ilmu dan menggali nilai-nilai cinta dari Islam. Berkat komunikasi dan pertemanan dengan Gus Nu’man, Gus Mus dapat sowan langsung empat mata dengan Kiai Hamid di ndalem (rumah keluarga).
“Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja, waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjernya tanah Jawa, dan beliau mentasyji’e saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. Ketawadu’an, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya sedikit demi sedikit mencair,” kisah Gus Mus dalam pengantar buku “Kiai Hamid bukan Wali Tiban”.
Ketika menyapa Gus Mus, Kiai Hamid bertanya tentang kabar-kabar orang Rembang. Bahkan, Kiai Hamid sengaja tidak memberikan fatwa atau nasihat-nasihat langsung, melainkan memberi kisah-kisah teladan yang menjadi inspirasi. “Tak ada fatwa-fatwa atau nasihat secara langsung, tapi saya mendapatkan banyak fatwa dan nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau. Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak saya dengan terus menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada saya. Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembangnya, yang dapat saya tangkap intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya”, ungkap Gus Mus. Kiai Hamid terkenal memiliki hobi membagi-bagikan uang.
Menurut Gus Mus, Kiai Hamid bin Abdullah bukanlah Wali Tiban, bukan Wali dadakan. Kiai Hamid merupakan sosok yang tekun mengasah pikiran dan menimba ilmu, sosok yang berjuang untuk mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dan amal serta mujahadah. Kiai Hamid juga dengan sabar mencerap kearifan dengan terus belajar dari pergaulan luas serta pengalaman yang terhayati. “Kiai Hamid dianggap wali secara muttafaq alaih. Bahkan ayah saya, Kiai Bisri Mustofa dan guru saya Kiai Ali Ma’shum—keduanya merupakan kawan karib Kiai Hamid—yang sulit percaya adanya Wali pada zaman ini harus mengakui kewalian Kiai Hamid, meski sebelumnya sering meledek kewalian kawan karibnya itu,” tutur Gus Mus.
Petuah Simbolik
Ketika memberikan nasihat, Kiai Hamid sering memakai ibarat, simbol, atau perlambang. Misalnya, untuk menyampaikan nilai-nilai dalam kitab al-Hikam, dalam petuah “idfin wujuudika fi ardhi al-khumul, himpunlah seluruh wujudmu dalam dunia yang tidak dikenal orang”. Kiai Hamid memberikan ibarat, “jika orang yang berbudi daya jagung dan benihnya tidak ditanam ke dalam tanah maka tidak akan tumbuh, malah dipatuk ayam”.
Pada kesempatan lain, Kiai Hamid memberikan pelajaran penting dengan memplesetkan sebuah syair: Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung ya dijarno (Kembang jagung dipetik orang Cina, sesuatu yang sudah terlanjur ya dibiarkan saja). Oleh Kiai Hamid, syiir Jawa ini diubah menjadi petuah: Kembang Jagung dipetik Cino, barang wis kadung ya dibenakno (Kembang Jagung dipetik Cina, sesuatu yang sudah terlanjur ya harus diperbaiki).
Kiai Hamid mengajarkan keteladanan dan kearifan. Beliau tidak langsung menembak kesalahan orang lain, dengan nasihat-nasihat langsung atau amarah. Bahkan, Kiai Hamid menjelaskan maksud dan tujuan nasihatnya, dengan simbol-simbol dan perlambang yang hanya dapat dicerap dengan kesungguhan hati, kejernihan berpikir.
Ada sebuah kisah tentang kearifan Kiai Hamid. Pada tahun 1975, ketika Jamaah Haji di Makkah sedang ribut, Kiai Hamid menjadi penengahnya. Jama’ah Haji yakin wukuf pada hari Jum’at, akan tetapi pemerintah Saudi Arabia menetapkan wukuf pada hari Kamis. Konon, karena Pemerintah Saudi tidak ingin membayar dobel gaji pegawainya. Jama’ah Haji ribut ingin menetapkan wukuf sendiri. Kemudian, orang-orang menemui Kiai Hamid untuk meminta nasihat. Dengan santun dan bijak, Kiai Hamid memberikan nasihat lembut: “Begini, yang enak itu ikut pemerintah, dapat dua pahala. Pahala taat pemerintah, dan pahala taat Allah. Jadi, wukuf hari Kamis saja,” pesan Kiai Hamid.
Kiai Hamid sering memberi nasihat kepada santri-santrinya dengan menggunakan simbol pohon kelapa. “Bunga kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya, atau buahnya jadi kecil-kecil. Sudah menjadi Sunnatullah,” ungkap Kiai Hamid. Bahwa, pohon kelapa berbunga (manggar), kemudian terkena angin menjadi rontok. Tetapi tetap ada yang berbuah menjadi cengkir, lalu rontok lagi. Nah, yang tidak rontok menjadi degan, kemudian menjadi kelapa.
Begitu juga dengan manusia, yang memiliki watak dan kepribadian berbeda. Juga dengan kemampuan berpikirnya. Ada yang cerdas, ada yang super cerdas, ada yang biasa-biasa aja, ada juga yang di bawah standar. Namun, jika semuanya memahami kondisinya dan berusaha untuk menjadi manusia yang bermanfaat, maka faedahnya akan besar. Yang menjadi cengkir maupun yang menjadi buah kelapa, sama-sama memiliki faedah dan kemanfaatan yang besar.
Kiai Hamid wafat pada 9 Rabiul Awwal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982. Beliau disemayamkan di Komplek Makam sebelah barat Masjid Jami’ al-Anwar Pasuruan. Di kawasan makam ini, terdapat makam Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, yang merupakan guru Kiai Hamid. Kiai Hamid mengajarkan Islam dengan suasana teduh dan penuh cinta, memberi nasiah dengan menggunakan bahasa simbol dan perlambang.[]
*Munawir Aziz, santri dan peziarah, aktif di Gerakan Islam Cinta (@Munawir Aziz)