Dalam Tarekat Alawiyah, tanggung jawab amar makruf nahi munkar (menegakkan kebajikan dan memerangi kemungkaran) tidak dilakukan melalui aktivisme politik dan kekuatan fisik (pedang), melainkan dengan akhlak dan hikmah: menegakkan kebajikan dengan kebajikan, memerangi kemungkaran juga dengan kebajikan, bukan dengan kemungkaran.
Penyebaran Islam melalui jalan damai dan harmonisasi dengan kebudayaan lokal yang dilakukan oleh Wali Songo di Nusantara, merupakan contoh penting bagaimana dakwah tanpa pedang bisa berhasil dengan gemilang. Sebagian dari Wali Songo dipercaya merupakan para sayyid keturunan Ahmad al-Muhajir yang berimigrasi ke India sebelum tiba di Nusantara.
Mungkin seseorang akan mempertanyakan fakta bahwa pada masa lalu di Indonesia ada sejumlah habib yang berdakwah dengan menggunakan gaya yang berbeda dari tradisi Manhaj Kasru as-Syaif yaitu menggunakan retorika konfrontatif, dan bahkan ada yang terkait dengan aksi terorisme.
Baca juga: Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih al Mukaddam (Bagian 1)
Habib Salim bin Jindan yang dijuluki “Singa Podium” diingat dengan ceramah-ceramahnya yang pedas mengkritik Presiden Soekarno dan Gubernur Ali Sadikin, Habib Idruss Jamaluail dikenal karena pidato-pidato politiknya yang keras mengkritik rezim Orde Baru hingga pernah meringkuk di penjara, sementara Habib Husein al-Habsyi mendekam selama 10 tahun di penjara atas dakwaan terlibat kasus peledakan candi Borobudur pada tahun 1985.
Tapi saya kira fakta-fakta itu memiliki penjelasan bahwa mereka merupakan anomali belaka, dan terbukti tidak menimbulkan perubahan arah apa pun dalam relasi komunitas habaib secara umum dengan wilayah politik. Dari semua fakta di atas, tergambar bahwa wajah habaib sejatinya adalah para pengikut tasawuf yang senantiasa menjauhkan diri dari aktivisme politik.
Habib Rizieq Shihab Sang Pendobrak?
Namun semuanya berubah sejak kemunculan Habib Rizieq Shihab (HRS). Dengan FPI-nya, ormas yang dibentuk selang 4 bulan setelah kejatuhan Soeharto itu, HRS tampil mengejutkan di panggung politik nasional. Bermula dari aksi-aksi FPI men-sweeping warung remang-remang dan tempat-tempat hiburan malam, HRS bermetamorfosis menjadi salah satu figur sentral di dunia perpolitikan Indonesia.
Melalui gaya, nada suara, pilihan diksi, retorika, dan yel-yel dalam orasi-orasinya yang sangat agitatif, HRS telah mengambil inisiatif untuk menampilkan wajah baru habaib. Wajah-wajah “harmless” para sufi berganti dengan wajah kombatan yang siap diterjunkan ke medan pertempuran.
HRS menginiasi kelahiran kode-kode kultur politik baru yang sebelumnya tak dikenal di dunia habaib. Ia memperkenalkan istilah Markas Syariah untuk menamai tempat di mana ia kerap menyampaikan cermah-ceramahnya. Sesuai namanya, di tempat itu ia nyaris tak pernah terdengar membahas persoalan batin maupun akhlak, melainkan menyeru penegakan syariah dan perjuangan demi “kemenangan Islam” melawan musuh-musuhnya. HRS mengganti tangan habaib yang hanya terbiasa menengadah ke langit memohon kepada Tuhan dengan tinju mengarah ke wajah imajiner lawan, ditimpali pekik takbir berulang-ulang.
HRS memilih untuk berkonfrontasi dengan Gus Dur, seorang tokoh dari organisasi besar yang secara kultural tak terpisahkan dengan habaib, ketimbang mentolerir keberadaan Ahmadiyah yang sedikit jumlahnya di Indonesia.
Menghadapi Gus Dur yang membela Ahmadiyah, HRS menggunakan caranya sendiri yaitu dengan ujarannya yang sangat terkenal: “buta mata dan buta hati”. Sebuah serangan verbal yang dianggap sebagai hinaan fisik dan memicu kemarahan massa di kantung-kantung NU serta sempat memunculkan ketegangan antara Banser/Ansor dan sejumlah habib pengurus FPI di daerah.
Masih berkaitan dengan Ahmadiyah, HRS dijemput sekitar 1500 polisi di rumahnya dan kemudian dihukum 1,6 tahun penjara terkait dengan peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Monas, yaitu serangan oleh massa beratribut FPI terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang berunjuk rasa di Monas membela keberadaan Ahmadiyah.
Pada waktu yang lain, HRS mencaci presiden Jokowi dan istana negara dengan sangat keras. Hal itu ia lakukan sebagai reaksi atas pelantunan ayat al-Quran dengan langgam Jawa oleh seorang qori pada acara Isra Miraj di istana negara.
Contoh-contoh kasus di atas merupakan sedikit dari sekian banyak sepak terjang HRS yang menunjukkan kebaruan kode dan gestur sosio kultural habaib yang ia bangun. Ia seolah mengoreksi besar-besaran semesta yang dihuni habaib selama ratusan tahun.
Ia berteriak dengan lantang, bahkan mempertaruhkan keharmonisan antara Banser/Ansor dan habaib pengurus FPI di sejumlah basis NU, demi penegakkan syariah dan kemurnian akidah (yang menurutnya sedang terancam Ahmadiyah), yang selama ini tak disentuh oleh habaib. HRS menanggung risiko dirinya dibui demi itu. Pemenjaraan dirinya menjadi semacam deklarasi bahwa habib “perjuangan” telah muncul.
Dan akhirnya HRS menjejakkan kakinya di politik, sebuah wilayah yang letaknya selama ini dianggap jauh sekali dari tarekat Alawiyah. Dan ia menemukan momentum yang sangat kondusif saat “kasus al-Maidah” mencuat dari kepulauan Seribu. HRS menggerakkan lautan massa memenuhi Monas dan sekitarnya dalam aksi-aksi unjuk rasa yang spektakuler. Ia meminta umat membuat surat wasiat untuk keluarganya masing-masing sebelum berangkat menuju medan unjuk rasa.
Histeria “Aksi Bela Islam 411” juga merasuki sebagian besar Bani Alawy dan HRS melambung menjadi figur sentral di komunitas itu. Beberapa hari menjelang hari H aksi unjuk rasa, beredar sebuah voice note melalui layanan WA di kalangan Bani Alawy, berisi suara seorang lelaki dari salah satu marga Bani Alawy yang mencela imbauan Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama dari Hadhramaut yang sangat disegani oleh komunitas habaib, agar umat tidak ikut dalam aksi unjuk rasa.
Konon, ulama kharismatik yang sudah berkali-kali datang ke Indonesia itu memang mengeluarkan satu pernyataan yang mencerminkan ketidaksepakatannya pada aksi-aksi unjuk rasa.
Namun unjuk rasa tetap berlangsung dengan gegap gempita. Hari itu seorang habib “keramat” baru telah lahir. Kekeramatannya bukan dalam bentuk supranatural yang selama ini sering dikisahkan di dunia habaib, melainkan dalam kemampuannya mengumpulkan sekian banyak manusia dalam aksi unjuk rasa. Sebuah “kekeramatan” politik, mirip dengan yang dilakukan Ayatullah Khomeini dalam menggerakkan rakyat Iran menumbangkan Shah Iran.
Saat terjadi kericuhan di depan istana pada aksi 411 itu, polisi menembakkan gas air mata. Tak lama setelah itu, melalui layanan WA di kalangan Bani Alawy, beredar foto-foto sejumlah habib yang “bergelimpangan” terkena gas air mata. [Bersambung]