Misi Baldah Thoyibah dalam Birokrasi Kita

Misi Baldah Thoyibah dalam Birokrasi Kita

Bagaimana menjadikan misi baldah thayyibah di birokrasi atau hal semacam itu?

Misi Baldah Thoyibah dalam Birokrasi Kita

Suatu ketika penulis ditanya seorang sahabat, apa yang perlu dilakukan oleh umat Islam di negara ini untuk mengubah keadaan supaya lebih baik? Saya jawab, saudara-saudara muslim kita yang duduk di birokrasi pemerintahan harus menjadi ujung tombak perbaikan kinerja birokrasi.

Dalam kehidupan bernegara, birokrasi merupakan entitas yang paling strategis. Selain melayani masyarakat dalam memenuhi hak-hak kewarganegaraannya, birokrasi menjadi pelaksana (eksekutor) misi para pemimpin eksekutif. Para birokratlah yang akan menjadi garansi visi politik dan ekonomi dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga tingkat nasional bisa berjalan. Sebagus apapun visi dan misi yang telah dirancang para pemimpin pemerintahan, tidak bakal berjalan dan berhasil jika tidak ditopang dengan birokrasi yang baik, tangguh dan handal.

Berbeda dengan bupati atau gubernur yang jabatannya dibatasi hanya sampai 10 tahun (dua periode), menjadi birokrat merupakan pengabdian seseorang hingga pensiun. Sehingga semua jabatan di birokrasi bersifat strategis dan menentukan maju atau mundurnya sebuah negara. Maka kita membutuhkan orang-orang yang bermental baik, bekerja keras, dan berpikiran maju (visioner) untuk masuk dan menjadi bagian dari mesin birokrasi.

Namun kenyataannya, birokrasi kita masih jauh dari yang diharapkan. Perilaku para birokrat kita seakan belum berubah. Banyak program-program pembangunan yang terbengkelai karena birokrasi yang ogah-ogahan. Banyak pejabat yang menjadikan proyek-proyek negara menjadi sekedar bancakan.

Ketika hendak mengurus perizinan usaha atau hal administrasi, seringkali kita mendengar bahasa klise yang muncul dari lisan pegawai, “Nanti kita bantu”. Ujung-ujungnya adalah meminta uang atau pungutan.

Akibat birokrasi yang buruk dan ogah-ogahan, banyak proyek atau pekerjaan yang sebenarnya bisa ditangani sendiri oleh pegawai birokrasi, akhirnya dilempar ke pihak ketiga atau swasta. Padahal, gaji mereka terus naik. Banyak tunjangan fugsional dan tunjangan struktural yang terus membengkak. Banyak keluhan dari eksekutif pemerintah yang tidak berdaya menghadapi birokrasinya sendiri.

Kita tahu bahwa sebagian besar pegawai yang bekerja untuk birokrasi kita itu adalah muslim. Jika wajah buruk birokrasi kita seperti itu, tentu sebuah tamparan buat umat muslim juga. Sejauh mana ajaran Islam yang kuat dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan itu bisa menjadi landasan etika dalam birokrasi kita. Nilai-nilai seperti kerja keras, kejujuran, keikhlasan, welas-asih, menjadi nafas dalam lingkungan kerja birokrasi kita.

Sistem birokrasi kita memang perlu direformasi agar lebih efektif dan efisien. Dibutuhkan tata kelola dan pengawasan yang baik, dan umat Islam yang paling banyak memegang amanah birokrasi kita harus menjadi teladan yang baik. Tugas umat Islam yang di luar tentu mengawasi birokrasi tersebut.

Kalau biasanya kita hanya ramai setiap kali ada hajatan Pilkada atau Pilpres, maka saatnya kita selalu mengawal aspirasi kita agar bisa berjalan dan mengontrol birokrasi pelaksananya setiap saat. Agar doa supaya dikaruniai bangsa yang sejahtera (baldah thoyibah) dapat terwujud dan kita rasakan.