Dikisahkan bahwa al-Hasan al-Bashri memiliki tetangga bernama Simeon yang menyembah api. Suatu hari, Simeon jatuh sakit dan mengalami sakaratul maut. Teman-temannya memohon agar al-Hasan bersedia mengunjunginya. Al-Hasan pun datang dan mendapati Simeon terbaring di tempat tidur. Tubuhnya menghitam oleh api dan asap.
“Takutlah kepada Allah. Engkau telah menghabiskan sepanjang hidupmu di tengah api dan asap. Terimalah Islam supaya Allah mengampunimu,” kata al-Hasan menasihatinya.
“Ada tiga perkara yang menghalangiku menjadi muslim. Pertama, kalian membenci dunia tetapi siang-malam kalian hanya mengejar hal-hal duniawi. Kedua, kalian berkata bahwa kematian adalah kenyataan yang harus dihadapi tetapi kalian tidak membuat persiapan menghadapi kematian. Ketiga, kalian berkata bahwa wajah Allah akan terlihat tetapi sampai hari ini kalian melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan keridhaan-Nya,” jawab si penyembah api.
“Inilah ucapan dari manusia yang sungguh-sungguh mengetahui. Jika setiap muslim berbuat begitu, apakah yang akan engkau katakan? Mereka mengakui keesaan Allah, sedangkan engkau menyembah api seumur hidupmu. Engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, sedangkan aku tidak akan pernah berbuat seperti itu—kita sama-sama tersesat ke neraka. Api nereka akan membakar dirimu dan diriku. Allah tidak akan memedulikanmu, tetapi jika Dia berkehendak, api tidak akan berani menghanguskan sehelai rambut pun pada tubuhku. Karena api adalah ciptaan Allah dan segala ciptaan-Nya tunduk kepada segala perintah-Nya. Engkau sudah menyembah api selama tujuh puluh tahun. Marilah kita bersama-sama menaruh tangan kita ke dalam api agar engkau dapat menyaksikan sendiri betapa api itu sesungguhnya tak berdaya dan betapa Allah itu Mahakuasa.”
Setelah mengatakannya, Al-Hasan memasukkan tangan ke api. Tak sejengkal bagian tubuhnya pun terluka atau terbakar. Semeon menyaksikannya dengan takjub. Fajar pengetahuan mulai tersingkap di hadapannya.
“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” erang Simeon, “kini tinggal satu-dua helaan napas saja yang tersisa, apakah yang harus kulakukan?”
“Jadilah seorang muslim,” jawab Al-Hasan.
“Jika engkau memberiku sebuah jaminan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukumku,” kata Simeon, ”barulah aku akan menjadi muslim. Tanpa jaminan tertulis itu, aku tidak akan memeluk agama Islam.”
Al-Hasan pun segera menuliskannya.
“Sekarang perintahkan pengikutmu di Bashrah untuk memberikan kesaksian mereka di atas jaminan tersebut,” kata Simeon.
Para saksi pun membubuhkan tanda tangan mereka. Simeon berurai air mata dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim.
Kemudian, ia berwasiat kepada al-Hasan, “Setelah aku mati, mandikanlah aku dengan tanganmu. Kuburkanlah aku dan selipkan surat jaminan ini di tanganku. Surat ini akan menjadi buktiku.”
Setelah berkata demikian kepada al-Hasan, ia mengucap dua kalimat syahadat dan mengembuskan napas terakhir. Mereka pun memandikan mayat Simeon, menshalatkannya, dan menguburkannya dengan selembar surat jaminan di tangannya. Pada malam harinya, al-Hasan pergi tidur sambil merenungi apa yang telah diperbuatnya.
“Bagaimana aku dapat menolong seseorang yang sedang tenggelam, sedangkan aku sendiri sedang tenggelam? Aku sendiri tidak dapat menentukan nasibku, tetapi mengapa aku berani memastikan apa yang akan dilakukan oleh Allah?”
Dengan pemikiran-pemikiran itu, al-Hasan pun tertidur. Ia bermimpi bertemu dengan Simeon. Wajahnya bersinar seperti pelita, di kepalanya terdapat mahkota. Simeon mengenakan jubah yang indah dan berjalan-jalan sambil tersenyum di taman surga.
“Bagaimana kabarmu, Simeon?”
“Mengapa engkau bertanya padahal engkau melihatnya sendiri?” jawab Simeon. “Allah Yang Mahabesar dengan segala kemurahan-Nya telah membawaku ke hadirat-Nya dan memperlihatkan wajah-Nya kepadaku. Karunia yang dilimpahkan-Nya kepadaku tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Engkau telah memberiku sebuah surat jaminan, terimalah kembali surat jaminan ini karena aku tidak lagi membutuhkannya.”
Ketika Al-Hasan terbangun, ia menemukan surat jaminan itu di tangannya. “Ya Allah!” seru Al-Hasan. “Aku menyadari bahwa segala sesuatu yang Engkau lakukan adalah tanpa sebab kecuali karena kemurahan-Mu semata. Siapakah yang akan tersesat di pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan seseorang yang menyembah api selama tujuh puluh tahun untuk menghampiri-Mu semata-mata karena sebaris ucapan. Bagaimana mungkin Engkau akan menolak seseorang yang telah beriman selama tujuh puluh tahun?”
Disarikan dari buku “Tadzkiratul Auliya” karya Fariduddin Attar