Menyesali Kepergian Ramadhan, Menyesali Hilangnya Kebaikan

Menyesali Kepergian Ramadhan, Menyesali Hilangnya Kebaikan

Apa kita benar-benar menyesal telah kehilangan Ramadhan?

Menyesali Kepergian Ramadhan, Menyesali Hilangnya Kebaikan

Setelah Ramadhan berlalu, banyak hal yang saya sesali karena melalui bulan suci itu dengan tidak dioptimalkan. Sama seperti penyesalan lainnya, Allah masih menjaga saya dengan tidak membuka hal-hal yang layak disesali.

Menyesal bukanlah sebuah noda dalam hidup. Mereka yang memiliki penyesalan adalah pertanda orang-orang yang belajar dalam hidupnya. Hatinya tenang dan lapang, karena mampu jujur terhadap dirinya. Bukan mencari alasan sebagai pembelaan diri, barangkali inilah yang disebut sebagai pertaubatan (taubatnya nasuhah). Kira-kira begitulah refleksi pribadi saya atas surat An-nisa ayat 110.

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Sesiapa yang melakukan perkara buruk atau menganiaya dirinya sendiri (dengan melakukan maksiat) kemudian dia memohon ampun kepada Allah, nescaya dia akan dapati Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani” (QS. An-nisa: 110).

Menurut Prof Quraish Shihab, pintu tobat itu selalu terbuka lebar. Barangsiapa melakukan kejahatan atau menganiaya diri sendiri dengan melakukan maksiat, kemudian memohon ampun kepada Allah, Allah pasti akan menerima pertobatan itu dan akan mengampuni dosanya. Sebab, pengampunan dan kasih sayang merupakan sifat- sifat Allah.

Penyesalan atas dosa-dosa kita harusnya disikapi dengan semangat optimis memandang ke depan. Itu karena kita tahu pada posisi mana yang salah. Kita tahu problemnya, sehingga kita fokus pada solusi. Bukan bertindak sebaliknya, fokus mencari kambing hitam.

Menjaga Aib Sesama, Menyebarkan Kebaikan

Rasulullah, panutan kita semua pernah bersabda “Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya sesama muslim di dunia, Allah menutupi (aib) nya pada hari kiamat,” (HR. Ahmad).

Rasa-rasanya kita perlu kembali tadabur hadist diatas, apalagi di era sekarang, dimana jempolmu adalah harimaumu. Kita sangat mudah membagikan kesalahan orang lain dengan tujuan “semoga” viral. Padahal tiap kesalahan kita yang kita miliki tidak untuk umbar, begitupun kesalahan orang lain yang kita ketahui.

Orang-orang tidak butuh kesalahan, masyarakat cenderung butuh berita baik. Namun, kita kini lebih sering mengkonsumsi dan menyebarkan berita kesalahan orang lain.

Orang lain mungkin sepakat bahwa yang membuat kesalahan adalah musuh. Bahkan jumlahnya bisa saja berlipat ganda, disaat itu kita merasa bisa berlaku semena-mena. Karena kita mayoritas dan jumlahnya banyak. Kita merasa kuat karena bersama, namun kita lupa menyebarkan kesalahan dan memproduksi kebencian adalah perbuatan yang kotor.

Saya dengan penuh penyesalan, mengakui sering lupa pesan kyai saya, bahwa kita harus membenarkan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan. Membenarkan yang benar, meski bukan pilihan yang populer di masyarakat. Membenarkan yang benar, karena membenarkan kesalahan bukanlah perbuatan yang benar.

Pertanyaan untuk Kita

Apakah dengan membuka kesalahan orang lain, membuat kita merasa lebih baik dari yang lainnya? Padahal merendahkan orang tidak serta-merta menaikkan derajat kita lebih baik.

Pada suatu waktu saya ditanya apakah saya menyesal dengan kehidupan yang telah saya lalui. Saya menjawab tidak, karena tanpa sebuah dosa dan penyesalan saya tidak akan bisa belajar dari kearifan hidup. Meski ada penyesalan, mengutuk kehidupan tentu tidak akan menghasilkan apa-apa.

Jika kita menemukan kesalahan, kita perlu sesali dan menemukan solusinya. Bukan menyebarkan dan sibuk mengajak orang lain mencaci-maki. Sebuah peringatan untuk diri saya. Wallahu’alam bishawab.