Hasil riset Alvara Research Center terkait radikalisme dikalangan terdidik yang diumumkan pertama kali bulan Oktober 2017 mendapatkan sambutan yang cukup baik dari berbagai stakeholder terkait, hal ini terlihat dari coverage media yang begitu luas baik dari media dalam negeri maupun luar negeri. Hasil riset itu seakan menjadi alarm wake up call bagi kita semua bahwa radikalisme telah menyekutu ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita.
Temuan riset itu semakin menjadi relevan ketika terjadi peristiwa Bom di Surabaya bulan Mei lalu, bagaimana tidak pelaku bom tersebut adalah satu keluarga yang kebetulan juga dari kalangan terdidik, kepala keluarga tersebut adalah sarjana perguruan tinggi di Surabaya. Tidak lama setelah itu kemudian BIN dan BNPT juga mengeluarkan warning terkait trend radikalisme di perguruan tinggi.
Selain survei dikalangan terdidik, Alvara Research Center juga melakukan riset tentang radikalisme yang terjadi dimasyarakat umum. Pertanyaan-pertanyaan terkait radikalisme adalah bagian dari survei nasional yang kami lakukan secara reguler terkait berbagi isu sosial-politik yang terjadi di Indonesia.
Salah satu pertanyaan yang kami ajukan kepada responden adalah mereka lebih memilih mana antara Pancasila atau Ideologi Islam sebagai dasar negara, pertanyaan menggunakan semantic scale 1 – 6. Meski menurut beberapa pihak pertanyaan ini kurang pas dengan alasan tidak seharusnya Pancasila dipertentangkan dengan Islam, tapi menurut kami tetap relavan karena faktanya disebagian kalangan masyarakat kita ide untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara itu tidak pernah padam hingga kini.
Sejarah tahun 1955 menunjukkan bahwa kebuntuan sidang Konstituante saat itu salah satunya adalah debat soal ideologi negara Pancasila vs Islam. Perdebatan soal ideologi negara mereda saat orde baru karena Soeharto secara respresif memaksa Pancasila sebagai asas tunggal negara. Paska orde baru, ide-ide untuk memunculkan ideologi islam kembali muncul, dari yang malu-malu sampai dengan yang terbuka menyampaikan ke publik ide tersebut.
Hasil survei yang kami lakukan menyebutkan bahwa ternyata publik Indonesia mayoritas masih memilih Pancasila sebagai Ideologi negara. Bila kita bandingkan antara hasil survei bulan Februari dan Mei 2018 terlihat yang memilih sangat Pancasila naik 8,5% menjadi 64%, namun disisi yang lain, yang memilih sangat Ideologi Islam juga naik 1,5% menjadi 10,2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pertentangan diantara dua kutub ideologi ini semakin membesar dan menguat.
Selain itu, dengan menggunakan bentuk pertanyaan yang sama, kami meminta mereka memilih antara NKRI atau Khilafah. Dan hasilnya menunjukkan pola yang hampir sama dengan pertanyaan soal Pancasila vs Ideologi Islam. Terjadi kenaikan yang memilih sangat NKRI dan sangat khilafah. Hasil selengkapnya bisa dilihat digrafik dibawah ini.
Meski terjadi kenaikan persentase yang memilih sangat Pancasila dan sangat NKRI, kenaikan yang memilih sangat ideologi Islam dan sangat khilafah cukup mengkawatirkan dan perlu segera diantisipasi.
Kami mencoba melakukan analisis cross tabulation tentang dua temuan diatas yang kemudian kami bandingkan antar generasi yang di Indonesia, data yang kami gunakan adalah data survei Mei 2018. Alat analisa yang kami gunankan adalah Correspondence Analysis yang biasa digunakan untuk memetakan korelasi antar beberapa variabel.
Hasilnya adalah ternyata generasi yang lebih muda, yakni generasi milenial (lahir 1981 – 1999) dan Gen Z (lahir diatas tahun 2000) punya kecenderungan lebih dekat dengan ideologi islam dan khilafah dibanding generasi-generasi yang lebih tua, Gen X dan Baby Boomers.
Hal ini tentu menjadi PR besar bagi bangsa ini untuk kembali menempatkan pendidikan kebangsaan dan Pancasila sebagai prioritas utama terutama bagi generasi muda agar mereka kembali mengenal jati diri kebangsaan Indonesia. Tentu bentuk membumikan Pancasila tidak bisa dilakukan dengan cara-cara lama seperti jaman orde baru dulu. Pemerintah dalam hal ini harus meggunakan cara-cara yang lebih kreatif dan interaktif sehingga Pancasila menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keseharian anak-anak muda Indonesia.