Salat Tarawih termasuk salat sunah yang waktunya khusus hanya ada di bulan Ramadan saja. Batas waktu ideal pengerjaannya adalah setelah pelaksanaan salat Isya hingga menjelang terbitnya fajar subuh. Adapun jumlah rakaatnya menurut pendapat mayoritas ulama berdasarkan atsar dari Saydina Umar ibn al-Khatthab adalah sebanyak 20 rakaat dengan salam di setiap dua rakaatnya. Lantas jika seseorang berhalangan untuk mengerjakannya di malam hari karena kondisi tertentu seperti sakit atau karena dalam perjalanan mudik ke kampung halaman di malam hari misalnya, apakah pengerjaannya boleh diqadha di siang hari atau di waktu-waktu lainnya?
Salah satu referensi yang membahas tentang persoalan ini adalah kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Negara Kuwait. Di kitab tersebut dituliskan bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa tidak dianjurkan untuk mengqadhanya. Karena menurut mereka tingkat kesunahan salat Tarawih tidak lebih kuat dari sunah Rawatib Maghrib ataupun Isya. Sedangkan kedua salat sunat tersebut yang derajat kesunahannya lebih kuat dari Tarawih tidak dianjurkan untuk diqadha, apalagi salat Tarawih, maka lebih tidak dianjurkan lagi.
Sementara itu, sebagian ulama dari mazhab Hanafi lainnya ada yang membolehkan untuk mengqadhanya, namun salat yang diqadha tersebut statusnya hanya sebagai salat sunah biasa saja, bukan lagi disebut sebagai salat Tarawih. Ia tidak lebih seperti salat malam yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin, karena menurut mereka kewajiban mengqadha salat hanya berlaku untuk salat fardhu dan salat sunat Fajar bagi mereka yang telah membiasakannya. Namun minoritas Hanafi membolehkan asal tidak melewati salat Tarawih berikutnya ataupun melewati bulan Ramadan tahun itu dan pelaksanaannya hanya bisa dilakukan secara munfarid (tidak berjamaah).
Sedangkan Imam Nawawi, salah seorang ulama bermazhab Syafi’i dalam karyanya Minhaj al-Thalibin dan dikutip juga oleh Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad al-Khathib al-Syirbini dalam karyanya Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj berpendapat bahwa salat sunah yang waktunya ditentukan seperti Tarawih, Salat Ied, Dhuha, Rawatib, dan lain-lain, jika ketinggalan, masih disunahkan untuk mengqadhanya di waktu lain. Cuma di sini Imam al-Syafi’i tidak menentukan batasan waktu kebolehan untuk mengqadhanya. Hal tersebut seakan mengindikasikan kalau waktunya bebas dan bisa diqadha di siang ataupun malam hari.
Hal tersebut menurut Ibnu Hajr al-Haitami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj didasarkan kepada hadis sahih yang menceritakan bahwa Nabi pernah mengqadha salat Qabliyah Subuh setelah terbitnya matahari dan mengqadha salat Ba’diyah Zuhur setelah Ashar ketika beliau tidak sempat mengerjakannya karena ada tamu yang harus beliau layani. Selain itu sebuah hadis hasan juga menyebutkan bahwa barangsiapa yang tertidur dari salat witirnya atau terlupa, maka hendaklah ia menggantinya ketika dia sudah mengingatnya. Karena Salat Tarawih sama dengan salat Witir dalam hal waktunya yang sudah ditentukan, maka hukumnya disamakan, boleh diqadha.
Adapun salat sunat yang waktunya tidak ditentukan atau salat yang mempunyai sebab-sebab tertentu seperti salat sunat Tahiyyatul Masjid karena memasuki masjid, salat Sunah Gerhana karena munculnya gerhana, salat Sunah Istisqa’ karena mengharapkan hujan, dan lain-lain, maka tidak dianjurkan untuk diqadha menurut pendapat yang lebih kuat. Berbeda halnya jika seseorang melakukan salat Sunah Mutlaq, kemudian dia batalkan secara tiba-tiba, maka tetap dalam hal ini dia dianjurkan untuk mengqadhanya. Begitu juga orang yang lupa atau ketiduran terhadap wirid hariannya, maka yang bersangkutan juga disunahkan untuk mengqadhanya.