Berbeda dengan Islamisme secara umum yang bertujuan untuk mengintegrasikan agama dan politik dalam bentuk negara Islam atau khilafah, jangkauan Islamisme lebih terbatas. Pada dasarnya ia bersifat personal, yaitu peningkatan kesadaran keberagamaan masyarakat dalam ritual ibadah sehari-hari. Aspek yang paling mudah dilihat adalah penggunaan pakaian yang dianggap mengacu pada identitas Islam, baik di kalangan laki-laki dan terutama lagi perempuan.
Islamisme popular berkembang di wilayah urban. Kelas menengah adalah pihak yang paling terpapar. Di tengah kerasnya kehidupan modern, mereka menemukan Islam–dan agama serta spiritualitas secara umum–sebagai ruang aman. Di sana mereka bisa membangun benteng pertahanan yang cukup kuat menghadapi arus degradasi moral dari luar.
Unit yang paling dirawat oleh Islamisme popular adalah keluarga. Lebih daripada apapun, keluarga adalah benteng pertahanan moral yang dimaksud di atas itu. Memang kenyataannya Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap unit ini, berbeda dengan ajaran ilmu-ilmu modern yang berpusat pada otonomi individual. Dalam keluarga, Islamisme popular memperoleh basisnya.
Kita tahu sejak tahun 1970-an antusiasme pada Islamisme populer meningkat seiring dengan perbaikan kualitas hidup material masyarakat. Di Indonesia, kalangan abangan adalah penyumbang terbesar arus ini. Mereka berhijrah dari era jahiliyah yang longgar menuju era yang lebih ketat dalam mempersiapkan masa tua dan/atau kematian–pokoknya sesuatu yang memastikan.
Dalam perkembangannya Islamisme populer bisa saja berorientasi politis, tergantung pada ada atau tidaknya pihak-pihak lain yang mengarahkannya. Dan memang kenyataannya inilah yang terjadi. Meski demikian, arus ini merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa dan tidak perlu dilawan. Daripada dipukul, arus ini lebih baik dirangkul. Secara sosiologis mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat kontemporer yang berjuang dalam rangka memahami abad yang penuh turbulensi ini.