Puasa adalah ritual keagamaan yang bukan hanya diajarkan oleh agama Islam, tetapi juga agama-agama dan sistem kepercayaan dalam komunitas manusia-manusia. Ajaran ini esensial, eksklusif, menyentuh dimensi spiritual yang menjadi jantung manusia. Ritual ini menjadi milik Tuhan saja, bukan milik manusia. Tuhan mengatakan:
كل عمل ابن ادم له الا الصوم فإنه لى وانا اجزى به
“Semua amal/kerja manusia miliknya sendiri, kecuali puasa. Ia milik-Ku, dan Akulah yang menghargainya”.
Pertanyaan utamanya adalah mengapa dan untuk apa manusia perlu dibimbing Tuhan menjalani ritual ini. Sejak awal, Tuhan menaruh kepercayaan penuh kepada manusia untuk tugas pengaturan kehidupan bersama di dunia ini. Tuhan menyebutnya dalam arti “genus”, manusia sebagai “khalifah fi al-Ardh”, pemimpin bumi. Dia berharap manusia bisa membangun kehidupan bersama yang saling menghormati, saling melindungi dan saling menyejahterakan.
Untuk keperluan itu Tuhan membekalinya dengan seluruh perangkat yang memungkinkan mereka dapat mengerjakan semua tugas kemanusiaan itu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi manusia akal untuk memikirkan, hati untuk mengalami dan merasakan, dan hasrat untuk menggerakkan. Ketiganya yang bersifat spiritual itu secara genuin diciptakan pada asalnya dalam keadaan suci dan baik.
Tetapi dalam perjalanannya manusia seringkali menjadi makhluk yang lemah, lalim dan bodoh. Ia sering lalai, mudah tergoda, terperangkap dalam dosa dan tergelincir ke dalam tindakan-tindakan yang menyimpang; merendahkan, mendiskriminasi dan menzalimi orang lain. Manusia juga mudah tertarik pada dan tertipu oleh hasrat-hasrat yang rendah dan kesenangan-kesenangan sesaat (duniawi) ; memuja harta, jabatan, seks, golongannya sendiri, keturunan, dan sebagainya.
Hasrat-hasrat diri ini amat sering melalaikan, memperdaya, mengecoh, bahkan tak menghargai hak orang lain. Manusia acapkali tak mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah yang menyesatkan itu. Manusia juga sering tidak memahami orang lain, salah paham terhadap orang lain dan bahkan memusihi orang lain.
Lihatlah, hari-hari ini di negeri ini, kita masih belum selesai menyaksikan perilaku-perilaku manusia yang rakus, egois, berebut kuasa, sombong, gemar mengumbar hasrat perut dan sex, merendahkan orang lain dan tidak menaruh empati penderitaan orang lain. Hari-hari ini kita juga menyaksikan beragam tindakan manusia yang menyakiti sesamanya baik di dalam rumahnya sendiri maupun di ruang bersama. Kata-kata kasar dan melukai manusia berhamburan di mana-mana, di dunia nyata dan di dunia maya. Lihatlah masih begitu banyak orang-orang miskin dan fakir, yang terlunta-lunta, yang tidur di kolong jembatan, yang dibiarkan.
Lihatlah, bagaimana bom-bom diledakkan di “rumah-rumah tempat manusia mengabdi kepada Tuhan”. Betapa manusia, ciptaan Tuhan yang terhormat itu, tengah mengalami situasi kejiwaan yang rusak, terbelah, lalai dan menyimpang.
Nah, di sinilah puasa menjadi moment penting dan perlu. Ia adalah moment penting untuk mendidik nurani manusia agar kembali kepada fungsinya sebagai wakil Tuhan. Puasa juga mengajarkan tentang keharusan manusia mengendalikan hasrat-hasrat rendah dan amoral. Pembiaran hasrat-hasrat rendah yang tak terkendali selalu akan melahirkan malapetaka sosial dan kemanusiaan. Intinya, puasa merupakan moment melatih sensitifitas pikiran, hasrat dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali. Inilah sejatinya taqwa: tujuan utama Puasa.