Dalam kamus Mu’jamul wasit, kata Tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang apabila ditinjau dari segi bahasa berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat. Sedangkan menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah “shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan”.
Untuk shalat sunnah lainnya yang juga dilakukan malam hari pada bulan Ramadhan seperti shalat sunnah sebelum dan sesudah isya’, shalat Witir, shalat Hajat dan lain sebagainya, tidak kemudian disebut shalat Tarawih.
Awal mula pengistilahan kata tarawih muncul dari perkataan sayyidah Aisyah ra. yaitu kata yatarawwah yang termaktub dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra. Dalam hadis itu sayyidah Aisyah Ra. mengatakan :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى اللَّيْلِ ثُمَّ يَتَرَوَّحُ فَأَطَالَ حَتَّى رَحِمْتُهُ فَقُلْتُ : بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ : أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا؟
“Nabi Saw Melaksanakan shalat malam sebanyak empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian melanjutkan shalatnya lagi dengan rakaat yang panjang sampai aku merasa kasihan padanya (Nabi). Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab : bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Pada zaman Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih, akan tetapi penamaan shalat yang dilakukan Nabi Saw pada malam hari di bulan Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan. Dalam riwayat Imam Bukhori dikatakan bahwa Rasulullah bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barang siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan semata-mata beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni”.
Di sinilah kemudian dibenarkan jika kita melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan menggunakan dalil hadis di atas, dengan catatan bahwa Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalatnya.
Wallahu A’lam.