Perkawinan dalam Islam tidak menggugurkan status melekat setiap laki-laki dan perempuan sebagai hanya hamba Allah (abdullah) dan amanah melekat sbg mandataris di muka bumi (khalifah fil ardl). Bahkan mesti memperkuat keduanya. Karena itu, perkawinan mesti dipandang dan dikelola dengan cara-cara yang sejalan dengan status dan amanah melekat ini.
Status melekat sebagai hanya hamba Allah berarti bahwa dalam perkawinan tidak seorang pun boleh menghamba atau diperhamba oleh pihak lainnya. Tidak seorang pun juga berhak menuntut ketaatan mutlak pada pihak lainnya. Suami-istri hanya boleh mengarahkan ketaatan mutlak pada Allah karena ketaatan pada makhluk-Nya hanya dibatasi pada hal-hal yang sejalan dengan ketaatan pada Allah (Laa thaa’ata limakhluqin fi ma’shiatil Khaliq).
Amanah melekat sebagai khalifah fil ardl berarti bahwa suami dan istri mesti kerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan di muka bumi termasuk dalam keluarga. Laki-laki dan perempuan beriman mereka saling menjadi auliyaa’ (penjaga, penolong, pelindung, soulmate) bagi lainnya. (Bahu membahu) memerintahkan kebajikan dan melarang kemunkaran…(at-Taubah/9:71).
Perkawinan dalam Islam dengan demikian tidak semata-mata perkawinan dua makhluk biologis, melainkan juga perkawinan dua makhluk spiritual. Tujuan perkawinan pun adalah ketenangan jiwa (sakinah) bagi semua pihak karena adanya relasi cinta kasih yang membuat keduanya bahagia (mawaddah) sekaligus membahagiakan pasangannya (rahmah), (ar-Rum/30:21).
Prilaku suami-istri dalam perkawinan terhubung langsung dengan kualitas ketaqwaan (kemampuan menjaga tauhid/ iman agar melahirkan kemaslahatan/prilaku bajik). “Bertaqwalah kalian para suami dalam memperlakukan istri. Sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah….(HR Bukhari-Muslim). Demikian pula prilaku istri pd suami jg terhubung lgsg dg kualitas ketaqwaannya.
Ketika memberi tuntunan tentang pentingnya suami menjaga alat reproduksi istri dengan baik sebagaimana pentingnya menjaga alat produksi (kebun), Allah mengakhirinya dengan kalimat “Bertaqwalah kepada Allah, ketahuilah bahwa kalian akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira pada orang yang beriman” (al-Baqarah/2:223). Ayat ini menegaskan bahwa prilaku suami-istri di ranjang itu terhubung langsung dengan kualitas ketaqwaan (jg keimanan tentunya) krn kelak akan dipertanggungjawabkan pada Allah.
Landasan spiritual perkawinan ini juga terhubung dengan indikator istri shalehah (demikian pula suami shaleh), yaitu taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suami (atau istri bagi suami) tidak ada karena sadar bahwa Allah selalu menjaga (dan mengawasinya) (an-Nisa/4:34).
Semoga bersama suami/istri, kita bisa jadi pasangan (zauj/zawaj) yang saling memegang teguh perkawinan sebagai janji kokoh (mitsaqan ghalidlan) shg kelak bisa bersama-sama mempertanggungjawabkan pd Allah Swt. Aamiin YRA