Seorang intelektual merangkap tokoh politik yang moncer mengeluarkan pernyatan di media. Katanya, umat Islam sedang tertekan. Klaim ketertekanan ini sebetulnya sudah lama menjadi retorika kepatutan politik sejak beberapa tahun belakangan. Bahkan, klaim ini juga terbukti ampuh untuk memobilisasi massa hingga membiarkan ceramah-ceramah yang bernada keras di ruang publik.
Beberapa klaim yang biasa dipakai, misalnya, bahwa umat Islam diserang oleh Amerika, Kafir dan Yahudi (juga komunis atau Cina jika momentumnya pas) lewat berbagai strategi. Retorika itu terus direproduksi di mesjid-mesjid, di selasar pengajian, dan paling masif di media sosial.
Saya kebetulan terlibat dalam riset tentang narasi ini bersama P3M dan INFID. Penelitian ini, singkatnya, menganalisis narasi-narasi apa yang muncul di facebook, twitter, youtube hingga grup-grup whatsapp. Narasi terkait umat tertekan yang dipakai, antara lain mulai dari demokrasi musuh Islam, musuh Islam menguasai jabatan penting di negara Indonesia, anjuran memerangi kaum kafir dan sejenisnya.
Pola yang paling mudah diidentifikasi adalah framing Us/ kita/ Umat Islam (yang digeneralisasi) versus Them/ mereka/ liyan (siapa saja yang menghalangi agenda “Us”).
Sebagai contoh, kita pakai tulisan Felix Siauw ini: “Agenda mereka sederhana, bila masih ada Islam mereka takkan bebas berkuasa, sebab Islam akan menginspirasi kaum muslim untuk melawan senantiasa, sebab dalam Islam kezaliman takkan berpadu dengan cahaya.”
Mereka, dalam paragraf itu, siapa saja yang menjadi liyan, yakni tidak mendukung kelompok Islamis termaksud. Kata Islam dipolitisasi, seolah mewakili seluruh Muslim di Indonesia. Padahal, lebih banyak Muslim yang menjadi silent majority dan malas ikut kontestasi Islam politik destruktif semacam itu. Lebih banyak juga Muslim yang bertetangga dengan baik dengan nonmuslim, menjalin relasi kerja antar golongan, jikapun ada ketidakadilan, hal itu bukan disebabkan oleh identitas golongan itu.
Tapi, ketika pernyataan umat tertekan itu muncul lagi dari seorang intelektual dan tokoh politik yang moncer, saya jadi penasaran, indikator apa yang ia pakai untuk klaim ketertekanan umat yang meresahkan itu.
Anggaran negara di Kementrian agama naik. Dari 12 program prioritas yg butuh anggaran dinaikkan, tentunya untuk umat Islam, mulai dari jaminan produk dan sertifikasi halal, program layanan haji dan umrah, wakaf sampai bimas Islam.
Dari 20 K/L yang mengalokasikan anggaran pendidikan, Kementerian Agama (Kemenag) memperoleh alokasi terbesar yaitu Rp52,681 triliun, disusul oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebesar Rp40,393 triliun, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebesar Rp40,092 triliun. Kenapa besar? Tentu saja karena sekolah Islam jumlahnya banyak, butuh gaji guru, fasilitas dan lainnya. Fasilitator bimas seperti KUA juga butuh anggaran agar kapasitas mereka berkembang.
Gejala umum kalau umat beragama benar-benar tertekan, biasanya adalah kesulitan membangun rumah ibadah. Faktanya, mesjid kita megah-megah. Khutbah jumat galak-galak juga tidak ada yang berani menindak. Kegiatan-kegiatan agama di rumah maupun di rumah ibadah Islam lancar. Umat Islam baik-baik saja/ tidak dipersekusi ketika sedang beribadah.
Ciri-ciri di atas itu, sepertinya bukan umat Islam ya yang mengalami?
Beberapa data yang saya catat (kalau lagi dibully itu biasanya saya malah mencatat narasi ? ) adalah anggapan kriminalisasi ulama dan teror dan serangan pada ulama.
Faktanya, sampai sekarang belum ada tuh yang di”kriminalisasi”, wong mau diproses belum bisa. Spanduk-spanduk di pusat kota Jakarta bertajuk mendoakan dan membela ulama banyak sekali dan baik-baik saja, tidak ada yang mencopot. Umat Islam demo berkali-kali juga tidak ada yang melarang kan?
Sedangkan untuk teror pada ulama, mungkin merujuk pada beberapa peristiwa di Jawa Barat, analisis terbaru di kepolisian adalah jika benar itu politis, maka hal itu terjadi karena situasi pilkada di Jabar yang sedang memanas. Dan kita tahu, yang berkontes juga sesama Muslim. Pelaku terornya juga bukan liyan-liyan yang selama ini dipersalahkan.
Ayolah, “umat Islam” Indonesia bisa lebih baik dari sekadar merasa tertekan. Islam Indonesia bisa mewujudkan Indonesia sebagai rumah bersama yang nyaman ditinggali karena bersama-sama kita bekerja membangun segala urusannya.