“Ulama adalah pewaris para nabi”. Ungkapan ini sering kita dengar di banyak kesempatan. Karena kedudukannya sebagai pewaris para nabi, mereka didaulat masyarakat sebagai tempat mengadu berbagai problematika kehidupan.
Di antara karakter ulama, seperti dijelaskan Al Qur’an adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah. “Sesungguhnya ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah” (QS Fathir : 28). Selain itu, Nabi Muhammad sebagai sosok utusan, adalah orang yang mempunyai keluhuran akhlak, seperti tercermin dalam surat al-Qalam ayat 4.
Pernyataan di atas juga ditegaskan oleh ucapan Rasulullah sendiri bahwa beliau tidak lain diutus kepada manusia untuk menyempurnakan akhlak. Oleh karena itu, seorang alim harus mewarisi akhlak Nabi, agar masyarakat bisa mengambil teladan dari seorang alim entah itu penceramah, ustadz, kyai, dan lainnyaa. Termasuk akhlak orang berilmu adalah memegang prinsip laa adri, yakni tidak tahu. Apa itu laa adri, dan bagaimana ulama terdahulu memaknai prinsip tersebut?
Prinsip laa adri adalah prinsip yang dipegang teguh oleh Imam Malik (w 179 H), seorang mujtahid (penggali dalil-dalil dari Al-Quran dan sunnah) ketika menghadapi pertanyaan yang diajukan kepada beliau, termasuk fatwa.
Imam Malik, seperti dikutip oleh Ibn Rusyd (w 520 H) dalam al-Bayan wa at-Tahshil mengungkapkan, “Diantara karakter manusia adalah tidak mengetahui segala hal, dan termasuk karakter manusia adalah mengetahui kemudian lupa, juga senantiasa belajar, sehingga Allah menambahkan ilmu kepadanya.”
Imam Cadi Ayyad (Qadli ‘Iyyadl, w 544 H) menceritakan bahwa Imam Malik pernah ditanyai 40 persoalan dan beliau hanya menjawab 8 dari persoalan tersebut. Prinsip Imam Malik ini ternyata meniru apa yang sudah dilakukan oleh sahabat Ibn Umar ( w73 H) bahwa beliau selalu menjawab tidak tahu atas persoalan yang tidak diketahui. Lantas, ketika mereka orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad dan menjawab tidak tahu, apakah kredibilitas mereka turun?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Imam Malik lagi-lagi mengalami kisah lain dalam menghadapi seseorang yang memprotes beliau ketika tidak menjawab suatu permasalahan. Orang tersebut mengatakan bahwa pertanyaan yang diajukan adalah permasalahan yang mudah dan ringan. Lalu Imam Malik marah, dan mengatakan bahwa tidak ada yang ringan dalam pertanggungjawaban suatu ilmu di hadapan Allah ‘azza wa jalla.
Problem Dakwah Populer di Indonesia
Perkembangan teknologi mengakibatkan masyarakat Indonesia semakin mudah untuk ‘belajar’ apa saja termasuk agama. Dari kemajuan teknologi tersebut muncullah para penceramah dengan bantuan media yang canggih, tampil di depan khalayak memberikan materi agama. Hingga sebagian dari mereka, dengan tampilan yang sedemikian rupa memukau beserta polesan-polesannya, tampil di tv dan berbagai tempat berkat kepiawannya memberikan ceramah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat.
Yang menjadi masalah adalah, sebagian dari mereka sudah terlanjur digemari masyarakat, yang mengadukan segala permasalahannya, kadang-kadang atau bahkan sering memberikan pernyataan atau jawaban yang memicu perdebatan bahkan memberi informasi yang salah. Dengan hanya membaca sobekan kertas berisi pertanyaan, sekonyong-konyong mereka mengutip ayat Al-Quran atau hadis saat menjawabnya dan seolah-olah masalah beres. Sampai-sampai, pertanyaan yang tidak berkaitan dengan materi pengajian bahkan bidang si penceramah pun disambarnya.
Ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang dicontohkan oleh Imam Malik dan Ibnu Umar yang mengedepankan prinsip tidak tahu ketika ditanya hal yang mereka tidak tahu. Penulis mengingat dawuh Gus Mus di berbagai kesempatan yang mengatakan “Orang bodoh itu kalau ditanya apa saja pasti jawab”. Kalimat tersebut menegaskan keprihatinan beliau terhadap para penceramah sekarang yang dalam istilah beliau sudah terlanjur terkenal, lantas tidak sempat belajar.
Mengatakan “Tidak Tahu” Bukan Berarti Bodoh
Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa prinsip ‘laa adri’ yang dipegang oleh Imam Malik tidak menunjukkan kelemahan beliau seperti yang diduga sebagian orang. Bisa jadi, ada hal yang tidak semestinya disampaikan oleh Imam Malik untuk masyarakat, atau beliau tidak menemukan jawaban yang persis dengan apa yang sudah diungkapkan di fatwa para sahabat. Yang demikian ini, lanjut beliau, adalah seorang faqih yang berpikir secara hati-hati karena takut berdusta atas nama Allah.
Dalam kitab Ushul al Fatwa wa al Qadla’ fi al Madzhab al Maliki, Muhammad Riyadl mengungkapkan bahwa prinsip Imam Malik tersebut bukan berarti Sang Imam kehilangan pandangan keilmuannya, juga menurunkan derajatnya. Mengutip Syekh Ibrahim Al-Laqani bahwa prinsip yang dipegang Imam Malik dan para mujtahid besar lainnya sama sekali tidak menafikan keilmuan mereka, karena hal itu mengindikasikan kapasitas mereka dalam menggali dan meninjau hukum-hukum dalam berbagai permasalahan dengan hati-hati.
Maka, dari contoh-contoh di atas, seyogyanya para penceramah, termasuk kita semua mesti berani mengatakan tidak tahu terhadap hal yang memang tidak kita ketahui. Bahkan untuk sesuatu yang memang bidang kita.
Kyai-kyai di pesantren, tidak jarang ‘menghutang’ makna ketika tidak mengetahui makna satu lafadh dalam pengajian. Hal ini mereka lakukan demi kehati-hatian dalam ilmu yang berat pertanggungjawabannya.
Hakikat seorang pembelajar, kata Imam as-Syafi’i (w 204 H), ketika semakin bertambah ilmunya maka semakin menegaskan pengetahuan atas kebodohannya. Dan tidak ada pilihan bagi kita semua sebagai pembelajar untuk menyadari ketidaktahuan agar tidak timbul masalah yang lebih serius akibat kelancangan berbicara yang bukan bagiannya. Alih-alih memberikan pencerahan kepada umat, perkataan kita malah menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah. Na’udzu billah.
Wallahu A’lam.