Sekali Lagi Tentang Hawking: Cinta Pengetahuan Sebagai Kodrat Manusia

Sekali Lagi Tentang Hawking: Cinta Pengetahuan Sebagai Kodrat Manusia

Meninggalnya Hawking menyisakan satu hal penting, apakah manusia memang makhluk berpikir?

Sekali Lagi Tentang Hawking: Cinta Pengetahuan Sebagai Kodrat Manusia

Stephen Hawking meninggal. Saya bingung harus menulis obituarium yang bagaimana. System bio-komputer jasad Hawking ternyata hanya berumur 76 tahun. Dia sendiri pernah bilang, bahwa swargaloka adalah hanya tempat untuk computer-komputer yang sudah rusak. Itulah nasib yang dialaminya saat ini. Entah mengapa fisika bagi religiusitas indah sekali fungsinya. Ia membentuk atmosfir rendah hati, sederhana, dan intelek. Berhadapan langsung dengan alam semesta raya menciptakan kesadaran bahwa homo religiosus ini hanya bagian renik dari jagad raya. Besaran umur yang hanya seratusan tahun ini, berhadapan dengan usia jagad raya dengan besaran milyar tahun. Under sole nulla nuvae. Tak ada yang baru di jagad raya. Semuanya sudah pernah ada. Semua ada umurnya. Fakta kosmis ini mengingatkan kepada piwulang Jawi dari para ngulama waliyullah jaman dulu. Ojo gumunan, ojo kagetan, dan ojo dumeh.

Stephen Hawking meninggal. Hanya konsekuensi dari Hukum Thermodinamika II: kekekalan massa dan energi. Bahwa energi dan massa kekal, tidak musnah melainkan berubah bentuk. Konsekuensinya, semua yang baru akan rusak dan hancur. Bahkan jagad raya ini akan hancur. Kulli syaiin haalikun illa wajhahu. Semuanya berjalan dengan enthropy. Tidak penting untuk membahas Hawking masuk syurga ataukah ke neraka. Ia homo agnosticus. Itu urusan dia secara pribadi. Namun jasa Hawking bagi kemanusiaan sangat besar.

Sekalipun Hawking tidak memperoleh Noble Prize karena semua eksplorasinya tentang jagad raya berjalan dalam persamaan-persamaan matematika di atas kertas-kertas kerjanya. Tak ada implikasi teknologinya. Namun Hawking mengantarkan peradaban ini kepada kesadaran akhir The Big Crunch, kerkahan atau gulungan maha besar. Bahwa jagad raya tunduk kepada hukum osilasi. Jika jagad tergelar muasalnya adalah The Big Bang, maka akan terosilasi tergulung menjadi The Big Crunch. Ngulama Jawi bilang, gumelar lan gumulunging jagad.

Stephen Hawking meninggal. Tak penting membahas masuk syurga atau neraka. Toh, ada hukum alam: kherunnas yangfangu linnaas. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Kalau ngulama Jawi bilang, migunani marang sapadha-padha. Setidaknya di dunia, Hawking sudah memenuhi kaidah tersebut. Dalam khasanah Jawi, ada panengen dan pangiwa. Ilmuwan-ilmuwan panengen terus mengeksplorasi jalan-jalan dan metode-metode bagi kesempurnaan ruhani manusia. Sejak para nabi, hingga wali-wali dan ngulama-ngulama warasatul ngambiya. Mereka memproduksi ribuan data dan teori bagi kesempurnaan ruhani manusia ketika berpulang ke hadirat Ilahi.

Ilmuwan-ilmuwan pangiwa mengeksplorasi metode-metode dan teknologi-teknologi yang menyempurnakan manfaat materi bagi kehidupan manusia. Semuanya demi sempurnanya kesejahteraan dan ketentraman hidup bagi spesies manusia di atas bumi atau erleben kata Socrates. Meskipun masih samar-samar, Hawking pernah bilang bahwa alam semesta tak ada artinya jika tidak menjadi rumah bagi orang-orang yang kita sayangi. Samar-samar karena statement Hawking ini belum mendapatkan status teoritiknya. Lain halnya dengan leluhur orang Jawa. Kangjeng Panembahan Senapati ing Alaga Mataram, tahun 1582 masehi sudah mengajak umat manusia untuk hamemangun karyenak tyasing sesama.

Stephen Hawking meninggal. Setelah selama 50 tahun menjadi ikon bagi kelemahan fisik yang meniscayakan cuatan eksponensial entelecchi dan ruhani manusia. Sekalipun dia sendiri meragukan ruhani pribadinya. Dalam khasanah Jawi selalu ada tempat istimewa bagi penyandang lemah fisik atau penyandang cacat. Orang Jawa kuno menyebutnya kaum polowijan. Seperti Hawking, kaum polowijan menempati posisi istimewa di pusat-pusat pemerintahan dan peradaban Jawa. Mereka menjadi rekanan-rekanan cerdas (panakawan) bagi para petinggi negeri, sehingga selalu bijaksana dalam memproduksi peraturan-peraturan yang membahagiakan rakyat. Namun malang bagi Hawking, dia menjadi polowijan justru di tengah peradaban barat yang memuja kekuatan, kekuasaan, dan kesempurnaan fisik. Bagi orang Jawa seperti saya, ironi Hawking ini mengusung piwulang Kangjeng Kyahi Ageng Giring. Sejatine, sing kosong kuwi isi. Sing dudu kuwi hakiki. Sing sepele kuwi permana. Sing lemah kuwi kuwat. Sing cacat kuwi limpat.

Stephen Hawking meninggal. Lahirnya pada tanggal 8 Januari 1942 di Oxford, Inggris, bertepatan dengan 300 tahun meninggalnya Galileo Galilei, salah satu ilmuwan pertama soal gravitasi. Bagi orang Jawa, Galileo mengingatkan kepada Karaeng Pattingaloang, sultan Makassar. Yang membeli teropong Galileo dan menempatkannya di Benteng suci sumba Opu. Kalau meninggalnya, harinya Rebo Pon, tanggalnya 14 Maret 2018, atau 26 Jumadil akir 1951 tahun Jawa. Mangsanya kasanga dan windunya tahun dal. Dari sudut pandang kosmologi neptu, hari meninggalnya ini menjelaskan why Hawking hidupnya penuh dengan nestapa. Kalau ia hidup di Jawa, harus diruwat, agar tidak seruwet jalan hidupnya selama ini. Namun dari kalamangsa kasanga, kematian Hawking meniscayakan semen.

Artinya, awal berseminya bunga-bunga peradaban. Juga pertanda datangnya musim kawin bagi spesies binatang. Namun juga bisa menjadi pertanda bagi datangnya jaman kebahagiaan, dan persaudaraan umat manusia di dunia. Hawking menjadi ikon kekuatan harapan. Harapan untuk mempertanyakan siapakah presiden Royal Society sesudahnya. Dan juga harapan munculnya fisikawan terkemuka yang duduk Lucassian Chair. Semoga fisikawan dan atau ilmuwan itu menjadi pemantik bagi datangnya dunia yang damai, tentram, bijaksana, dan penuh suka serta bahagia. Gemah ripah loh jinawi, tata-titi-tentrem kertarahardja. Wallahu a’lam bissawab.[]