Hawking: Antara Iman dan Ilmu Pengetahuan

Hawking: Antara Iman dan Ilmu Pengetahuan

Hawking: Antara Iman dan Ilmu Pengetahuan
dtfe/dtmp.PROFESSOR STEPHEN HAWKING, CENTRE FOR MATHEMATICAL SCIENCES, CAMBRIDGE UNIVERSITY.

Jumat, 3 September 2010, nama Stephen Hawking bertengger di posisi puncak trending topics di Twitter. Artinya, di media microblogging yang sedang ngetop itu, nama fisikawan kelas dunia itulah yang paling banyak diperbincangkan  penggunanya di seluruh dunia. Penulis buku A Brief History of Time tentang penciptaan alam semesta itu akan merilis buku barunya: The Grand Design, yang isinya meralat buku sebelumnya. Di A Brief History of Time, Hawking masih menempatkan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Namun di The Grand Design, ia justru menyingkirkan peran Tuhan.

Di buku terbaru, Hawking menjawab pertanyaan yang belum terjawab di buku pertamanya: Mengapa alam semesta ada?  Mengapa kita eksis? Mengapa ada hukum-hukum alam dan seperti apa mereka? Apakah alam semesta perlu perancang dan pencipta? Ini ucapan lengkapnya untuk menjawab pertanyaan terakhir:

“Because there is a law such as gravity, the universe can and will create itself from nothing. Spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the universe exists, why we exist. It is not necessary to invoke God to light the blue touch paper and set the universe going”

Oleh koran The Times, kalimat itu ditafsirkan, dalam fisika modern,  “Tuhan tidak berperan dalam penciptaan alam semesta” – “leaves no place for God in the creation of the universe”. Sedangkan The Guardians memaknai “Tuhan tidak menciptakan alam semesta” – “God did not create the universe”. Dua tafsir yang sangat berbeda. Tak ada yang tahu siapa yang benar sampai bukunya terbit. Saya juga penasaran, sehingga kemarin pre-order ke Amazon.com.

Apapun tafsirnya, kalimat Hawking menghebohkan, seperti terbukti di Twitter menjadi trending topicsteratas dalam beberapa jam. Tanpa membaca bukunya (saat ini belum terbit) hanya akan menjadi spekulasi. Saya perhatikan, kebanyakan justru kaum beragama yang gerah dengan pernyataan Hawking. Dan mereka cenderung membenturkannya dengan iman atau menyangkalnya, padahal belum membaca bukunya sama sekali.

Ini beberapa contohnya:

  • Sejauh ini tidak khawatir dengan pencapaian sains. Selain sikap sains yang mudah dikoreksi, hasil sekarang masih terlalu dini untuk berbenturan dengan keimanan.
  • God’s answer to Hawking: there is no need to invoke your theory to make people believe in Me. If you argue with spontaneous creation, I offer universal “hidayah”, guidance. Deal?
  • Itu orang memang bener2 atheis tulen pak.
  • Bukunya Brief History of Time jg musti dibaca hati-hati. Buku atheist tuh…waktu tdk berujung.
  • Gimana ya pak? Kondisi udah sepert itu kok masih saja ndak berpikir bahwa Allah itu ada, padahal profesor kan? apa profesor itu begitu kali ya?
  • Still In God We Trust!
  • So, who create this design?
  • Kalau semesta tercipta krn gravitasi, trus yg menciptakan gravitasi siapa?
  • Wuich, baca sedikit kutipannya saja saya sudah bayangkan kontroversinya…. semoga iman tetap di atas nalar dan naluri.
  • Ilmu itu penting, tapi tetap harus berpegang pada ajaran agama kan?

Masih banyak lagi komentar yang senada.

Ini cerminan bahwa masih ada sengketa antara ilmu pengetahuan dan agama  dalam pikiran manusia. Pemeluk agama yang basisnya iman, akan waspada jika ada temuan ilmiah yang berbeda dengan yang mereka imani, atau malah berusaha menyangkal sebelum memahaminya. Sebagian mencoba mencocok-cocokkan teks-teks kitab suci dengan ilmu pengetahuan dan bersorak gembira ketika cocok.

Menolak ilmu pengetahuan jika bertentangan dengan dogma. Bersuka ria jika ilmu pengetahuan cocok dengan dogma.

Sikap seperti itu bisa dimengerti karena yang namanya iman dalam agama itu tak dapat ditawar.

Namun, sikap itu dapat merugikan upaya meningkatkan taraf hidup manusia melalui pehamanan yang mendalam tentang alam semesta, tempat di mana kita hidup, yang sesunggunya bisa didapat melalui ilmu pengetahuan.

Sejak lahir, tanpa diminta, kita mendapatkan/diberi otak, akal budi, dengan segala kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan kita tahu, basis ilmu pengetahuan adalah keragu-raguan, mempertanyakan, yang 180 derajad berseberangan dengan basis iman.

Amat sayang jika modal ini kemudian selalu dibenturkan dengan doktrin-doktrin.

Tidak bisakah dua hal ini, iman dan ilmu pengetahuan, hidup damai dalam satu tubuh dan pikiran?

Tidak dapatkah kita meletakkan kedua hal itu, iman dan ilmu pengetahuan, dalam porsinya masing-masing?

 

*) Tulisan ini pertama kali terbit di blog pribadi Nukman Lutfie: sudutpandang.com