Salah satu di antara manusia-manusia cerdas di muka bumi ini pada zamannya adalah seorang ulama besar bernama Abu Bakar Al-Baqilani. Beliau adalah ulama besar madzhab Asy’ari. Bahkan beliau merupakan tokoh utama Asy’ariyah sepeninggal Abu Hasan Al-Asy’ari. Selain seorang mutakallim (ahli kalam), Al-Baqilani juga salah satu ulama Ushul Fiqh.
Al-Baqilani lahir di kota Bashrah, kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad. Al-Baqilani dilahirkan dengan nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu Al-Thayyib Ibnu Muhammad Ibnu Ja’bar Ibnu Al-Qasim Al-Baqilani. Tidak ada keterangan yang begitu spesifik tentang tahun kelahiran Al-Baqilani, namun beliau hidup pada masa awal pemerintahan Dinasti Buwaihi, sekitar pertengahan abad ke empat sampe awal abad ke lima hijriah.
Al-Baqilani mempunyai andil besar dalam menyebarluaskan paham Asy’ariyyah. Beliau termasuk tiga ulama besar Madzab Asy’ari bersama Imam Al-Juwaini dan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atas jasanya merumuskan kembali paham Asy’ariyah, menjadikan paham Asy’ariyyah yang notabenenya sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tetap eksis sampe sekarang.
Selain mempunyai jasa yang sangat besar dalam penyebaran Asy’ariyah, Al-Baqilani juga merupakan seorang ulama yang produktif, sangat mencintai dan menghargai waktu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya Qimmatu Az-Zaman Inda Ulama, disarikan dari kitab Addzibaj Al-Madzhab fi Ma’rifati A’yani Madzhab, karya Ibnu Farhoun Al-Maliki. Bahwasanya setiap malam, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani selalu mengarang kitab. Dan tidak akan pernah tidur sebelum selesai menulis dalam jumlah 35 halaman.
Tidak heran jika Al-Baqilani mendapatkan julukan Saif Al-Sunnah (Sang Pedang Al-Sunnah) dan Lisan Al-Ummah (Sang Juru Bicara Umat). Al-Baqilani adalah orang yang sangat cerdas. Sebagaimana diutarakan oleh Imam Abu Bakar Al-Khawarizmi, bahwa setiap pengarang kitab di Baghdad, selalu merujuk kitab-kitab karangan orang lain, kecuali Al-Baqilani. Ia tidak pernah menukil kitab orang lain dalam mengarang kitabnya.
Al-Baqilani adalah ulama yang sangat wara’, zuhud, religius dan selalu menjaga dirinya dari perbuatan tercela. Ini semua dilakukakannya tidak lain adalah supaya bisa menghargai waktu yang ada dan selalu memanfaatkannya. Bahkan dalam menjaga bersifat zuhud dan wara’pun, Al-Baqilani tak menampakkannya ke khalayak umum.
Untuk memanfaatkan waktunya, Al-Baqilani selalu menulis dan menulis. Karena menurutnya waktu adalah kehidupan, dengan memanfaatkan waktu yang ada, maka akan ada sebuah kehidupan sebenar-benarnya, yaitu melalui sebuah karya berupa kitab. Karena karya tidak akan pernah hilang walaupun yang menulis karya tersebut sudah meninggal dunia berabad-abad yang lalu.
Di antara beberapa karya-karya Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani adalah I’Jazul Qur’an (yang tersimpan di salah satu Museum Inggris), ada juga kitab Al-Tamhid (yang tersimpan di Museum Istanbul dan Museum Paris), ada juga kitab yang menolak kelompok Syiah Rafidhah, Khawarij dan Muktazilah yang berjudul “At-Tauhid Fi Radd Ala Mulhatil Muthola’ah war Rafidhoh Wal Khawarij Wal Muktazilah”. Ada juga kitab Al-Inshof fi Asbabil Khilaf, Hidayatul Musytarsyidin, Manaqib Al-Aimmah, dan beberapa kitab lainnya.
Maka tidak heran jika ulama-ulama zaman dahulu begitu produktif dan mempunyai banyak karya yang sampe sekarang masih bisa kita nikmati. Karena sangat menghargai waktu dan memanfaatkannya untuk berkarya sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani.
Oleh karena itu jangan hanya menjadi orang yang mempunyai jam tangan berharga, tetapi tidak mempunyai waktu yang begitu berharga, dengan menyia-nyiakannya. Karena waktu yang sudah lewat tidak akan pernah kembali lagi.
Wallahu A’lam.