Kalau melihat prakteknya, alasan, fungsi dan tujuan bercadar, tidak bisa dimaknai secara tunggal, apakah terkait ekspresi dalam beragama kekolotan dalam beragama, atau bahkan hanya sekedar alasan teknis, misalnya upaya penyembunyian identitas.
Penafsiran bahwa cadar itu produk budaya patriarkhi yang justru membelenggu perempuan dalam mengekspresikan diri dan cenderung terkesan tertutup dan asosial tidak sepenuhnya bisa diterima. bagi yang berpandangan bahwa justru itu bagian dari kepasrahan diri kepada aturan Tuhan dan bentuk kebebasan sebagai sebuah pilihan.
Alasan bahwa cadar identik dengan aliran intoleran bahkan radikal dalam beragama, juga sepenuhnya sulit dibenarkan sebelum ada pembuktian terbalik dan preseden. Apalagi kalau kita lihat selama ini pelaku-pelaku gerakan radikal hampir semuanya kaum laki-laki.
Kembali ke soal keputusan UIN Sunan Kalijaga untuk membina dan menertibkan mahasiswi bercadar sebagai upaya menjauhkan peserta didik dari kelompok radikal, sepenuhnya merupakan hak institusi. Sebagaimana mereka mengharamkan kaos oblong dan sandal jepit masuk area kampus.
Sekali lagi dalam prakteknya, ternyata bercadar tidak hanya sebagai ekspresi keagamaan dengan sekian dalilnya, namun juga menjadi bagian industri fashion, bahkan bisa menjadi alat atau sarana untuk “menutupi” sesuatu dalam arti yang positif maupun negatif sebagaimana penjelasan di atas.
Kembalikan ke hukum asalnya, bercadar adalah pilihan yang terlepas dari motif apapun, baik agama maupun budaya, bahkan faktor teknis. Semua boleh, mau bercadar atau tidak.
Yang perlu di atur adalah ketika hal ini sudah berkaitan dengan aturan institusi atau keperluan tertentu yang mensyaratkan terbukanya wajah, baik untuk foto pasport, sim atau identitas diri lain misalnya. Mau tidak mau hal ini harus ditaati, karena sejatinya aturan pemerintah atau institusi resmi pemerintah itu bagian dari fikih itu sendiri.
Salah satu jalan tengahnya, sebagaimana merokok yang tidak diperbolehkan di tempat tertentu, silahkan bercadar di manapun kecuali dalam kelas saat proses belajar mengajar atau ketika berhadapan dengan pihak lain yang mengharuskan kepastian identitas seorang perempuan. Seperti ketika transaksi kredit atau bisnis yang terikat secara hukum misalnya.
Wong masuk ATM aja ada aturannya tidak boleh menutup wajah, karena bagi yang lain mungkin akan merasa tidak adil juga ketika berhadapan namun yang satu anonim wajahnya…heee.