Pelarangan cadar di beberapa institusi cukup membuat kontroversi. Terakhir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang mahasiswinya menggunakan cadar dengan alasan radikalisme.
Hal ini membuat Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis ikut bersuara. Menurutnya, ada satu ayat dalam Al-Quran yang ditafsirkan berbeda oleh para ulama. Perbedaan inilah yang berujung pada perbedaan-perbedaan yang ada terkait cadar.
Menurut Cholil Nafis, secara teologis dasar dalil yang menimbulkan perbedaan adalah firman Allah surat An Nur: 31 :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
“Kata “zina/perhiasan” ini lah yang jadi pangkal perbedaan ulama,” tulis Cholil Nafis dalam akun Facebooknya.
Dari ayat tersebut, menurutnya, terjadi beberapa perbedaan: Pertama, Menurut Ibn Jabir, yang boleh tampak hanya baju dan wajah. Kedua, menurut Al-Auza’i hanya baju, wajah dan kedua telapak tangan.
Ketiga, Ibnu Mas’ud mengatakan seluruh anggota tubuh tidak boleh tampak kecuali bajunya. Keempat, menurut pendapat Ibnu Abbas, yang boleh hanya wajah dan kedua telapak tangannya. Kelima, pendapat Imam Malik mengatakan bahwa seluruh tubuh, bahkan wajah dan telapak tangannya aurat wanita.
Cholil Nafis sendiri menyatakan bahwa ia lebih sepakat dengan fatwa Al-Azhar yang menyebutkan bahwa wajah dan telapak tangan perempuan tak wajib ditutupi. Dalilnya adalah hadis Asma’ binti Abi Bakar dan aurat wanita saat shalat yang tidak wajib menutup wajah.
Bagi pria asal Madura ini, dalam ranah fikih khilafiyah boleh memilih dalil yang dianggap kuat untuk dipedomani. Namun tetap menghormati perbedaan pendapat yang dianggap kuat dan dirasa lebih maslahah oleh orang lain, sehingga tidak tepat sampai mencela apalagi melarangnya seperti di UIN Yogja.
“Kalau radikalisme menjadi alasan pelarangan niqab atau cadar tentu perlu dibuktikan hasil researchnya. Kalau karena kesopanan, lebih tidak sopan mana dengan orang yang berpakaian super ketat dan transparan?” Imbuhnya.