Timbulnya perlawanan dan pemberontakan dan gugatan tentang definisi apa yang dan siapa yang disebut sebagai bangsa Indonesia di satu sisi yang berwujud dalam bentuk tindakan seperti pilihan untuk menyukai K-Pop dan K-Drama atau bahkan pendefinisian ulang tentang menjadi sosok muslim adalah indikasi dari semakin memudarnya kayakinan dan juga kepercayaan pada agama yang bersifat transendental atau fanatis sekaligus juga semakin diterimanya pandangan-pandangan kosmopotit dan pluralis serta juga mencuatkan pandangan akan relativisme sebuah kebenaran yang merupakan ciri pertama dari pascamodernisme.
Dalam konteks ini Ariel mencatat adanya kecenderungan-kecenderungan baru guna menemukan kembali identitas. Identitas lama dihancurkan, dirumuskan ulang dan kemudian didefinisikan kembali (Baca: Merayakan Iman, Mendulum Kenikmatan) . Dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar ini upaya pendefinsian sebagai muslim dan juga sebagai manusia Indonesia coba dirumuskan ulang. Definisi lama yang mengurung muslim sebagai manusia yang taat, kolot, dan kaku, tidak pantas untuk bersenang-senang dan lain sebagainya dihancurkan dan dirumuskan ulang.
Ariel melihat usaha-usaha itu dengan mefokuskan pengamatannya pada budaya-budaya yang berbasis layar yang meliputi film, K-Pop, K-Drama, dan budaya populer politik jalanan. Dalam pandangan Ariel, melalui film Ayat-Ayat Cinta sosok muslim masa kini adalah sosok yang dicitrakan sebagai yang bersih, klimis, modis, akademis, rajin, dan bekerja keras. Menjadi muslim tidak terkungkung pada sebatas lokus-lokus ‘ubudiyah’ seperti masjid, musala, dan majlis taklim.
Dalam pandangan Ariel, sosok Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta mencitrakan dan menawarkan definisi baru bahwa menjadi muslim yang saleh itu tidak harus bergamis dan berjenggot panjang. Fahri adalah sosok cerdas, organisatoris yang tidak kuper dan pada saat yang bersamaan ditaksir oleh empat perempuan sekaligus. Meminjam istilah Dwifatma (2016) Fahri adalah sebuah jalan tengah yang menawarkan formula bagaimana menjadi mulsim yang saleh di satu kutub dengan tanpa ketinggalan zaman sama sekali di kutub lain. Ariel mengatakan: “.. orang Indonesia yang tinggal di perkotaan berusaha untuk berakrobat dengan menggunakan tiga bola sekaligus: menjadi Muslim taat [..], menjadi warga negara yang terhormat [..], sekaligus menjadi anggota komunitas produsen dan konsumen global” (Heryanto, 2015: 75-76).
Penting untuk dikemukakan dalam konteks ini, bahwa apakah pada dasarnya film Ayat-ayat Cinta tersebut mengusung pandangan pascamodernisme? Berdasarkan penuturan Ariel bahwa Film Ayat-Ayat Cinta yang merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama, yang dikarang oleh Habiburrahman Al-Shirazy, yang dialih wahanakan menjadi film oleh Hanung Bramantyo, bahwa sejatinya pada saat proses produksi sampai tayang perdana film tersebut, sang Sutradara dihinggapi rasa kekhawatiran yang luar biasa. Sebab ia sendiri tidak mengetahui apakah film tersebut segendang sepenarian atau cocok dengan versi novelnya.
Pun demikian pula pengarang Novel, sangat suliti menemukan bukti bahwa yang bersangkutan memahami epistemologi pascamodernisme untuk digunakan sebagai instrumen atau alat untuk menulis novel tersebut. berdasarkan pengamatan yang mendalam dari pelbagai sumber, salah satunya blog pribadi hanung Bramantyo, Ariel menulis: “sutradara Hanung Bramantyo menyampaikan kepada wartawan bahwa ia khawatir film tersebut (Ayat-ayat Cinta) merupakan film terakhirnya…………Alih-alih menghadiri pemutaran perdana filmnya, Hanung bersembunyi di luar bioskop, takut penonton, terutama yang telah membaca novel sumber cerita film itu, akan kecewa berat.” (Heryanto, 2015: 82)
Dalam pada itu, Ariel juga mengungkapkan bahwa penulis Novel, Habiburrahman El-Shirazy, menulis novel berdasarkan pengamatannya pada kehidupan Mesir kala ia menjadi mahasiswa. Tujuan utamanya hanya ingin mendakwahkan Islam. Dengan tujuan yang global tersebut sangat sulit rasanya untuk mengatakan bahwa Novel tersebut ditulis dengan terlebih dahulu memikirkan dengan serius pandangan-pandangan pascamodernisme.
Ariel menulis “Penulis Habiburrahman El-Shirazy, seorang muslim yang taat, mengaku menulis cerita ini berdasarkan pengematannya mengenai kehidupan di Mesir ketika ia menjadi mahasiswa di sana dengan ‘sebuah tujuan untuk mendakwahkan islam’” (Heryanto, 2015: 84)
Kedua, dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar ini, Ariel mencoba mengangkat subjek-subjek kecil yang selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian serius, jika tidak ingin dikatakan tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Ariel mengangkat film komersil dan juga film dokumenter, atau bahkan pengamatannya terhadap fenomena K-Pop dengan tariannya. Itu semua membuktikan bahwa Ariel sedang ingin melakukan upaya sentralisasi subjek yang awalnya ada di pinggiran. Ini adalah ciri khas pandangan pascamodernisme yang tidak selalu berfokus pada subjek besar semata, namun lebih dari itu justru mengangkat yang kecil-kecil dan terlihat sepele namun memiliki makna bahkan sangat penting keberadaanya.
Bagi Ariel, budaya populer merupakan objek pinggiran yang sering dikesampingkan dalam kajian dunia akademis. Hal itu disebkan karena adanya anggapan bahwa terdapat hubungan ‘mesra’ yang tidak tahu malu antara budaya pop dengan dunia industry yang hanya sibuk mengejar laba. “Budaya populer sulit untuk mendapatkan ststus terhormar dari lingkungan elite yang beragam karakter politiknya. Kaum elit berusaha merendahkan budaya populer dengan dengan menggunakan istilah budaya massa.” (Heryanto, 2015: 24)
Lebih jauh, untuk mengukuhkan argumentasinya yang menyimpulkan bahwa kajian akademik masih meminggirkan budaya populer, Ariel menulis dalam sebuah tulisan yang lain bertajuk Pop Culture and Competing Identities. Di dalam tulisan tersebut dikemukakan adanya pandangan yang canderung menempatkan budaya populer sebagai objek pinggiran dalam dunia akademik. [bersambung]