Ada banyak peristiwa yang belakangan baru kita sadari bahwa ketidaksetujuan dan ketidaksukaan kita pada pikiran dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu membuat kita tak adil dan jernih melihat persoalan. Kadang-kadang saya juga begitu. Dan guru terbaik saya untuk berusaha bersikap adil dalam pikiran dan perbuatan adalah Gus Dur.
Seperti suara kebanyakan, saya tak setuju pada cara-cara kekerasan dan ujaran kebencian yang dilakukan FPI di bawah kepemimpinan Habib Rizieq. Karena itu penangkapan Habib Rizieq Shihab oleh Polda Metro Jaya pada 2002 saya sambut gembira. Saya kira juga Gus Dur. Sebelumnya FPI merazia dan merusak Gelanggang Olahraga Kemakmuran Jakarta Pusat.
Tapi apa yang dipikirkan dan disikapi Gus Dur membuat saya belajar untuk tetap adil pada sesuatu yang tak kita setujui dan tak kita sukai.
“Janganlah kebencian pada suatu kaum membuatmu tak mampu berlaku adil,” begitu perintah al-Quran.
Meski tak setuju dengan sebagian pikiran dan sikap Habib Rizieq, Gus Dur dengan meyakinkan mengatakan bahwa tindakan Habib memprotes polisi atas penangkapannya menunjukan ketundukan Habib pada NKRI dan UUD 1945. Menurut Habib seperti disampaikan pengacaranya, penangkapan itu cacat hukum. Karena itu ia mengajukan gugatan.
Menurut Gus Dur, Habib sebetulnya masih menganggap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri yang berwenang memeriksa dirinya.
“Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan apapun yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya,” begitu kata Gus Dur seperti ditulis dalam “Kepala Sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain” dalam Duta Masyarakat pada 2002.
“Sebagai penduduk biasa, Habib Rizieq memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walaupun secara politik pula ia sering mengganggu hak-hak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan”.
Enam tahun kemudian, Habib Rizieq menyebut orang yang membela haknya itu dengan sebutan orang “yang buta mata dan buta hati”.