Di era digital seperti sekarang, manusia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, Digital Immigrant, yaitu kelompok yang sedari lahir tidak ada internet, kemudian aktif di dalamnya. Kedua, Digital Native, yaitu orang yang sedari lahir sudah ada internet. Persamaan dari kedua kelompok dapat dipahami, mereka akhirnya sama-sama menggunakan internet untuk ‘kebutuhan’ interaksinya di dunia maya.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan media informasi yang semakin pesat, pendidikan sebagai investasi masa depan harus bisa menyesuaikan diri. Semisal dapat memanfaatkan era digital ini sebagai media pembelajaran bagi siswa di madrasah dan sekolah, bahkan pesantren. Akses informasi di era digital ini memungkinkan siswa lebih mengetahui informasi terlebih dahulu ketimbang guru. Tentu hal ini tidak akan membuat guru menjadi ketinggalan dibanding siswanya, karena keberadaan guru di kelas dan lingkungan sekolah lebih kepada memfasilitasi siswa untuk belajar.
Dalam ilmu pedagogik, belajar dapat didefinisikan merupakan sebuah perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Tingkah laku di sini bukan hanya berarti kemampuan siswa secara afektif, tetapi juga kemampuan siswa dari sisi kognitif dan psikomotorik. Di titik inilah, guru yang bisa dikatakan sebagai kelompok Digital Immigrant keberadaannya sangat penting bagi siswa, yaitu membimbing siswa agar belajar memanfaatkan penggunaan internet ke arah yang lebih positif untuk keperluan belajar di sekolah.
Dengan kata lain, Digital Immigrant ada untuk membelajarkan para Digital Native agar dapat memanfaatkan internet sebagai media meningkatkan kualitas belajar siswa. Dalam hal ini, guru juga dituntut mengikuti perkembangan arus informasi di era digital melalui kanal-kanal media sosial, misalnya. Dalam kanal inilah, siswa dapat diarahkan untuk membentuk kelompok belajar secara berkesinambungan karena kanal media sosial tidak terbatas ruang dan waktu.
Perlu diingat, media sosial atau media lain di dunia maya hanyalah alat (instrumen) bukan tujuan. Artinya, alat tidak bisa menggantikan posisi guru. Sebab alat tidak mempunyai sisi humanitas (kemanusiaan). Oleh sebab itu, kehadiran guru secara emosional sangat penting untuk menumbuhkembangkan sisi kemanusiaan seorang siswa.
Melalui digital, tangkal paham radikal
Euforia media sosial yang saat ini hampir pasti dipunyai oleh setiap individu, menuntut guru agar lebih memahamkan kepada siswa akan arti positif media sosial dan hadirnya ribuan portal-portal berita. Apalagi saat ini, tak sedikit yang memanfaatkan internet untuk menumbuhkembangkan paham-paham yang meresahkan di tengah masyarakat. Hal ini penting menjadi perhatian guru, karena selama ini paham-paham tersebut sangat gencar menyasar anak-anak muda usia sekolah.
Keterbukaan dan luasnya informasi publik yang didukung oleh perkembangan teknologi berdampak pada mudah aksesibiltas. Dengan kondisi demikian, guru tidak bisa sekadar acuh, apalagi sangat terkait dengan perkembangan para siswanya. Melihat perkembangan paham radikal yang terus berusaha menyasar anak usia sekolah, guru dan pihak sekolah harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan yang ada. Wahana seperti Rohis jangan dibiarkan liar, justru wadah ini harus dimanfaatkan oleh guru untuk menanamkan pemahaman keagamaan yang baik dan benar.
Pada akhirnya, era digital menyadarkan dunia pendidikan akan arti penting sebuah inovasi yang harus terus menerus dikembangkan. Dunia pendidikan tidak perlu anti terhadap siswa yang saat ini gandrung dengan media sosial. Sebaliknya, semua elemen pendidikan harus mampu memanfaatkan potensi media sosial di era digital ini agar pembelajaran di kelas lebih berkualitas. Lagipula, media pembelajaran yang ramah dan damai dapat dikembangkan melalui perkembangan dunia digital.
Media seperti ini sudah dibuat dan diterapkan oleh The Wahid Institute dengan menciptakan instrumen ‘Negeri Kompak’. Dalam media pembelajaran ini, anak-anak dididik tentang keberagaman Indonesia yang harus ditopang dengan saling menghargai dan menghormati di tengah perbedaan dan kemajemukan. Dalam media ini, selama ini anak-anak tertarik karean dikemas secara apik dan menarik dalam bentuk visualisasi aktif. Artinya, tak hanya berupa gambar, tetapi juga berbagai keterangan yang tersemat di dalamnya.
Di era digital seperti sekarang, berbagai media serupa dapat diciptakan guna mengisi dunia digital atau dunia maya dengan pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang baik demi keutuhan bangsa. Jangan membiarkan dunia maya didominasi oleh gambar, video, maupun narasi-narasi ekstrimis, melainkan masyarakat harus berperan aktif dengan mengisi dunia maya dengan narasi-narasi positif terkait paham keagamaan dan kebangsaan dengan berbagai media.
Media-media inilah yang dapat dimanfaatkan juga oleh guru untuk memberikan pemahaman keagamaan yang baik dan benar kepada siswanya dalam upaya melakukan deradikalisasi dalam dunia pendidikan. []