Prinsip dasar yang dipegang teguh oleh kaum jihadis, salah satunya, adalah keharusan seorang muslim untuk berjihad dengan segala apapun yang ia miliki, baik berupa harta benda, nyawa, ataupun ucapan. Jargon yang biasa mereka gembar-gemborkan adalah tiada khilafah islamiyah tanpa tauhid dan jihad. Sehingga bagi seorang muslim yang enggan untuk berjihad -yang menurut mereka dikhususkan untuk berperang- maka keimanannya dipertanyakan serta statusnya berubah menjadi orang munafik yang boleh dimusuhi karena sudah berkhianat kepada ajaran inti dalam agama Islam.
Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah hadis berikut :
جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم
“Berjihadlah kalian untuk memerangi orang-orang musyrik dengan harta, diri, dan ucapan kalian”.
Bagi orang awam yang tidak mendalami ajaran agama, tentu secara otomatis akan muncul rasa khawatirnya kalau-kalau ia nantinya akan digolongkan ke dalam golongan orang-orang munafik. Sehingga dengan terpaksa ataupun sukarela, sebagian mereka menyerahkan semua harta benda yang mereka miliki kepada oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya sebagai “mujahid fi sabilillah” dan bahkan mereka juga dengan sukarela meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk pergi ke daerah-daerah konflik dalam rangka mengamalkan hadis tersebut, yaitu meniatkan diri untuk berperang di jalan Allah.
Apakah setekstual itu pemahaman hadis tersebut ataukah sebenarnya hadis tersebut mempunyai konteks yang membatasi keumumannya? Tulisan ini akan mencoba untuk menguraikannya.
Pertama, dipandang dari segi kualitasnya, riwayat di atas diriwayatkan oleh beberapa imam besar dalam dunia Hadis, seperti Imam Ahmad dan al-Darimi dalam dalam Musnad-nya, Abu Daud dan al-Nasa’i dalam Sunan-nya, serta Abu Ya’la, Ibn Mani’, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam karya-karya mereka. Imam Hakim menilai bahwa sanadnya berkualitas sahih dan sesuai dengan persyaratan sahih yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad ibn Ali ibn Adam ibn Musa al-Itsyubi al-Wallawi dalam karyanya Dzakhirah al-‘Uqba fi Syarh al-Mujtaba.
Namun yang menjadi persoalan di sini adalah kaum jihadis berusaha menjadikan hadis ini sebagai dalih untuk melegitimasi tujuan politis mereka untuk memerangi orang-orang yang berbeda secara pemahaman dengan mereka serta menguasai daerah yang mereka anggap sebagai daerah yang telah “dijanjikan” sebagai titik balik kebangkitan umat Islam, yaitu Irak dan Syam. Mereka juga tidak mengkompromikan hadis itu dengan dalil-dalil lain yang mungkin saja dapat memperjelas konteks dan maksud utama dari perintah jihad tersebut.
Imam Sufyan al-Tsauri, sebagaimana dikutip oleh penulis kitab Dzakhirah al-‘Uqba fi Syarh al-Mujtaba, mengaitkan keumuman hadis tersebut dengan kekhususan Q.S. al-Baqarah : 191 yang menyebutkan, “Jika mereka (orang-orang musyrik) memerangi kamu (di tempat itu), maka perangilah mereka! Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir”. Beliau memahami bahwa perintah untuk berjihad memerangi orang-orang kafir dengan segala sesuatu yang dimiliki itu baru diwajibkan jika mereka memerangi umat Islam terlebih dahulu. Jika tidak, maka perintah berperang itu juga otomatis gugur karena ilatnya sudah hilang.
Begitu juga dengan Imam ‘Atha’, beliau juga membatasi keumuman hadis tersebut dengan larangan berperang pada bulan-bulan haram (bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) sebagaimana diisyaratkan oleh Q.S. al-Taubah : 5 yang menyebutkan, “Apabila sudah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka”. Sehingga menurut beliau, perintah umum untuk berjihad dibatasi hanya pada bulan-bulan selain bulan haram yang empat. Jika orang-orang musyrik tersebut menyerang di luar bulan-bulan haram, maka baru kewajiban jihad tersebut dianjurkan.
Ada sementara pendapat yang mungkin saja dijadikan sebagai argumen oleh kaum jihadis untuk mengamalkan kemutlakan hadis tersebut yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang disebutkan oleh Imam Sufyan al-Tsauri dan Imam ‘Atha’ di atas telah dinasekh oleh hadis Nabi riwayat al-Bukhari yang menyebutkan bahwa beliau diutus untuk memerangi semua manusia sampai mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui Allah sebagai tuhannya dan Nabi Muhammad sebagai Nabi. Namun pendapat ini tidak disertai dengan argumentasi yang kuat karena tidak ditemukan bukti spesifik terkait kapan kedua ayat dan hadis tersebut muncul.
Jasser Audah dalam salah satu karyanya juga pernah mengkritisi metode nasekh-mansukh yang digunakan secara serampangan oleh kalangan jihadis. Mereka menganggap bahwa semua ayat-ayat perang telah menghapus ayat-ayat yang berisi tentang prinsip perdamaian dalam al-Qur’an dan Hadis, karena ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk berperang sebagian besarnya turun di Madinah, sementara ayat-ayat tentang perdamaian turun di Mekah. Menurut Jasser beberapa dalil tersebut tidak seharusnya dibentur-benturkan antar satu sama lain karena masing-masing mempunyai konteks dan tujuan yang berbeda.
Pendapat serupa tapi dengan argumentasi yang berbeda juga pernah disampaikan oleh Ali Mustafa Yaqub. Dalam banyak tulisannya, beliau dengan tegas menyampaikan bahwa ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu ayat-ayat damai dan ayat-ayat perang. Sehingga menurut beliau sebuah kesalahan fatal jika seseorang menempatkan ayat-ayat perang pada kondisi damai dan sebaliknya menggunakan ayat-ayat damai pada kondisi perang, karena hal ini selain akan menyesatkan diri pribadi dan orang lain, akan tetapi juga akan merusak citra dari agama Islam itu sendiri.
Di sinilah urgensi memahami teks agama dengan menggunakan ilmu bantu yang disebut juga dengan Ilmu Ushul Fikih dan Ilmu Thuruq Fahmil Hadis (ilmu tentang cara memahami teks hadis). Seseorang tidak akan mampu sampai kepada makna yang dituju dari dalil-dalil agama sebelum dia menguasai perangkat-perangkat tersebut dengan baik dan paripurna. Selain itu, dalam membaca teks agama seseorang juga harus mengedepankan nilai-nilai kemaslahatan universal yang menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan mayoritas ulama merupakan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Saw dan ajaran agama Islam secara umum.
Dengan demikian, perintah untuk berjihad dengan menggunakan segala potensi yang ada, seperti harta, tenaga, dan ucapan hanya berlaku jika kondisi seperti yang disebutkan di atas seperti umat Islam diperangi serta diusir dari daerah mereka terjadi dan menimpa umat Islam. Adapun apa yang terjadi di dunia Islam hari ini, khususnya di Indonesia, tidak sampai kepada kondisi perang seperti itu, sehingga secara otomatis ilat perintahnya menjadi gugur dan hilang. Seseorang tidak perlu juga mengorbankan semua yang ia miliki untuk hal-hal yang belum pasti dan malahan berpotensi merusak citra dari Islam itu sendiri. Allahu A’lam