Harta, ketenaran, kekuasaan. Terkisah orang yang telah memperoleh segala sesuatu di dunia ini, raja bajak laut bernama Gold D. Roger. Kata-kata terakhir yang diucapkan menjelang eksekusinya, membuat orang seluruh dunia tergerak mengarungi lautan. Era bajak laut terbesar pun dimulai. Begitulah kira-kira prolog serial anime One Piece besutan Eichiro Oda diputar.
Ya, menjadi bajak laut dan lalu menemukan harta karun bernama One Piece merupakan pra-syarat mutlak bagi yang ingin menjadi orang nomor wahid di lautan.
Kompetisi menjadi seorang “raja” ini sekarang juga kita dapati di 2018 yang konon adalah tahun politik. Itu setidaknya bisa kita tinjau dari dua hal. Pertama, di tahun ini terselenggara Pilkada serentak. Menyambut pesta demokrasi level Daerah, tentu setiap Parpol akan mengerahkan segenap strategi pamungkas untuk memenangkan ambisinya. Mulai dari bangun koalisi antar partai, pasang iklan di televisi, pasang mars partai di iklan Youtube dan televisi, hingga menggandeng publik figur kenamaan; selebriti, agamawan, serta tokoh-tokoh lainnya.
Kedua, karena 2018 adalah tahun digelarnya Pilkada serentak, setiap Parpol tentu tidak mau melewatkan panggung demokrasi ini begitu saja guna menyongsong Pilpres 2019. Sebab, Pilkada 2018 diyakini punya pengaruh besar dalam menentukan posisi partai di Pilpres 2019 nanti. Dan memenangkan Pilpres itu setara dengan menemukan One Piece yang merupakan puncak kontestasi dari segala ambisi setiap partai atau bajak laut.
Masalahnya, kompetisi menjadi “raja” itu ternyata tidak sehitam putih pilihan ganda ujian Ebtanas. Ada banyak gejolak dan dinamika yang menyertai. Dan itu niscaya.
Artinya, bukan hanya soal menjalankan roda pemerintahan bagi yang menang dan legowo menerima kenyataan bagi yang kalah. Juga bukan rahasia lagi jika ternyata ada sekian kontrak dan kesepakatan-kesepakatan, bahkan sandiwara politik pun terlibat di dalamya.
Pada titik ini, saya jadi teringat pesan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Ya, statemen Gus Dur yang banyak kita jumpai baik di internet, stiker bahkan gantungan kunci itu saya kira merupakan cermin yang koheren untuk tahun politik 2018 ini.
Nilai-nilai kemanusiaan itulah yang menyertai setiap derap langkah Gus Dur. Termasuk dalam berpolitik. Sefenomenal-fenomenalnya kebijakan yang dia terapkan, hampir bisa dipastikan tetap mengandung misi kemanusiaan di dalamnya.
Pernah suatu saat misalnya, Gus Dur hendak menjalin hubungan bilateral dengan Israel. Sayangnya, sebagian dari kita saat itu terlanjur larut dalam nalar kebencian dengan jejaring Amerika, Israel. Sehingga upaya yang Presiden ke-4 RI coba tempuh itu justru dicurigai, dicerca, dijangan-jangani dan pada akhirnya kandas. Tanpa tabayyun.
Sementara, menurut Greg Barton (2003) dalam Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Gus Dur percaya bahwa untuk menjadikan Indonesia dapat memperoleh kematangan sebagai suatu bangsa, ia harus berani menghadapi musuh-musuh imajiner dan mengganti kecurigaan dengan persahabatan serta dialog.
Walhasil, ketika saat ini Israel semakin membabi buta, lalu ditambah dengan sokongan Donald Trump, kita pun hanya bisa gigit jari sebab tidak punya relasi diplomatik. Mentok bikin aksi bela Palestina. Itu pun sangat rentan ditunggangi segudang kepentingan.
Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan Gus Dur juga tercermin dalam demokrasi yang dia perjuangkan. Demokrasi yang dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Dan terlalu konyol saya kira, jika kita hanya berhenti pada empat huruf pertama dalam memaknai demokrasi. Sebab, demokrasi tidak seinstan dan sebercanda itu.
Dalam sebuah wawancara antara Gus Dur dan Mohammad Sobary, disebutkan bahwa Gus Dur mengatakan Islam itu agama demokrasi. Hal itu menurut Gus Dur berdasarkan tiga alasan. Pertama, Islam adalah agama hukum. Artinya, ajaran Islam berlaku bagi semua orang tanpa pandang bulu, baik yang bersifat pemangku jabatan tertinggi maupun rakyat jelata. Bahkan Kanjeng Nabi sendiri tidak akan segan menghukum meskipun itu adalah putrinya yang bernama Fathimah. Begitu kira-kira Nabi bersabda mengenai kesetaraan di mata hukum.
Kedua, karena Islam memiliki asas permusyawaratan. “Amruhum syuro bainahum” begitu kata Gus Dur. Bahwa, setiap persoalan musti dibicarakan antara sesama pihak yang terlbiat perkara. Tradisi membahas, bermusyawarah (syuro), dan tradisi bersama-sama ini menunjukkan pemikiran secara bebas dan terbuka, yang pada akhirnya paripurna dengan sebuah kesepakatan. Itu juga ajaran Islam.
Ketiga, dan yang paling penting, bahwa Islam selalu berpandangan aslah. Perbaikan. Sebab memperbaiki kehidupan itulah sebaik-baik persiapan untuk bekal hidup di akhirat. “wal akhiratu khairun wa abqa”. Akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu, kehidupan manusia itu tarafnya tidak boleh jalan di tempat. Harus meningkat terus. Lebih baik dan lebih langgeng. Jadi standar baik itu ada di akhirat, kehidupan di dunia harus mengarah kepada yang baik. Ini juga termasuk prinsip dari demokrasi.
Akhirnya, nilai-nilai kemanusiaan itulah yang semestinya mengalir dalam nadi perpolitikan kita. Jangan sampai tahun politik ini justru menjadikan kita terjerumus dalam pusaran setan bernama kebencian yang rentan dijadikan umpan konflik. Apalagi jika sampai memberangus semangat dari nilai-nilai kemanusiaan yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita. Bhinneka tunggal Ika.
Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Yogyakarta. Bisa disapa lewat akun twitter @anwarku_r