Akhir-akhir ini semangat keagamaan mulai meningkat. Beberapa orang terkadang terlalu fanatik dengan produk penafsiran tertentu, tanpa mempertimbangkan produk penafsiran lain. Sehingga ketika masing-masing terlalu fanatik dengan produk penafsiran tertentu, seketika menyalahkan orang lain yang lebih percaya dengan penafsiran lain. Tentu hal ini cukup meresahkan.
Menanggapi hal ini, dosen tafsir UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Dr. Nurul Huda Ma’arif mengungkapkan bahwa tidak perlu terlalu fanatik terhadap penafsiran tertentu.
Hal ini ia ungkapkan pada saat Workshop Training Penafsiran dan Living Hadis yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Korwil Jakarta Banten, senin 15 januari 2018 di UIN SMH banten.
“Al-Quran itu satu, sedangkan penafsiran itu bermacam-macam,” tutur pengasuh pesantren Qathratul Falah Lebak yang pernah mendapatkan anugerah guru madrasah produktif dari kemenag ini.
Menurutnya, kita harus berpegang teguh pada Al-Quran tapi tidak boleh terlalu fanatik dengan satu penafsiran. Baginya, hal ini lah yang menjadikan kita sering gaduh.
Ia mencontohkan, penafsiran auliya dalam Al-Maidah: 51 yang sempat menggemparkan. Baginya, jika masyarakat mampu memahami dinamisasi penafsiran Al-Quran, tentu tidak akan sampai terjadi hal-hal seperti ini.
Selain dinamisasi penafsiran, ia juga berpesan kepada seluruh pembelajar Al-Quran, khususnya mahasiswa tafsir hadis, agar menata niat saat belajar Al-Quran.
Dengan mengutip hadis yang diriwayatkan Abu Said al-Hudri, alumni pesantren Darus Sunnah ini mengatakan bahwa ada tiga model orang mempelajari al-Quran.
Pertama, orang yang mempelajari Al-Quran untuk kepentingan kelompoknya. Kedua, orang yang belajar Al-Quran untuk menghidupi dirinya. Ketiga, orang yang belajar Al-Quran untuk menggapai ridho Allah.
“Karena itu, jangan belajar Al-Quran hanya untuk MTQ atau mencari uang, tatalah niat saat belajar Al-Quran!” Terangnya.