K.H. Wahid Hasyim melalui tulisannya yang berjudul “Fanatisme dan Fanatisme” dalam buku “Sejarah Hidup K.H. Wahid Hasyim dan Karang Tersiar”, memberikan penjabaran tentang pengertian fanatisme atau ta’ashub yang kerap kali disalahpahami secara luas. Selama ini, ta’ashub diartikan sebagai sikap kesetian yang membabi buta dan cenderung menolak pendapat orang lain.
Bagi K.H. Wahid Hasyim, istilah ta’ashub sendiri paling tidak dalam makna tersebut sebenarnya tidak dikenal oleh umat Islam zaman dulu. Ayahanda Gus Dur tersebut menyatakan, Islam adalah demokratis dan umat Islam senantiasa siap untuk menampung segala perbedaan pendapat.
Sebuah kesetiaan, masih menurut K.H. Wahid Hasyim, dengan pengertian yang tidak membabi buta bukanlah sebuah ta’ashub, tapi merupakan sebuah tanggungjawab penuh kesadaran.
Di sini kemudian jelas bahwa pembeda utama untuk menilai apakah sebuah perilaku atau sikap itu disebut ta’ashub atau tidak adalah: apakah sikap kesetian tersebut memiliki hujjah (argumentasi) atau tidak; memiliki landasan yang bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Sehingga, untuk menjauhi sebuah sikap ta’ashub benar-benar membutuhkan kepala dingin. Sebab, jika emosi meluap-luap dalam merespon sesuatu, yang terjadi bukan kesetian dalam pengertian, tapi sebuah fanatisme semata.
Memaki-maki tanpa ada dasar, menolak kehadiran seorang ustad tanpa ada perbincangan sebelumnya, melarang acara-acara keagamaan atas dasar tudingan-tudingan tidak berdasar, merupakan perwujudan nyata dari sikap ta’ashub tersebut.
Sikap ta’ashub dapat ditemui dalam berbagai dimensi kehidupan, baik dari segi ta’ashub kepada mazhab tertentu, ta’ashub dalam kebudayaan yang pada gilirannya menciptakan pula istilah etnosentris dengan mengunggulkan kebudayaan sendiri dan merendahkan kebudayaan lain, ta’ashub kepada identitas kebangsaan, hingga menurut penulis harus pula ditambahkan ta’ashub kepada Islam itu sendiri. Dua yang disebut terakhir, yakni kenyataan akan fanatik terhadap nasionalisme dan fanatik terhadap Islam menjadi asbabun nuzul tulisan ini dibuat.
Bagi penulis, salah satu fenomena keislaman dan kebangsaan yang paling perlu disesalkan sepanjang tahun 2017 (atau bahkan mulai bulan-bulan terakhir tahun 2016) adalah adanya dua pertentangan ta’ashub tersebut. Paling tidak fenomena benturan dua ta’ashub bisa dilacak semenjak kasus penistaan agama yang mengiringi Pilkada DKI Jakarta tahun kemarin. Kekuatan “umat Islam” dengan menyelenggarakan reuni 212 yang diselenggarakan bulan kemarin merupakan momentum penting bagi refleksi demonstrasi serial yang akhirnya berhasil menumbangkan Ahok.
Di sisi lain, pemerintah atau bahkan secara luas yang didukung oleh kekuatan anti gerakan tersebut menciptakan sebuah frase akan peneguhan fanatisme nasionalisme. Begitu kentara kemudian terdapat pembelahan dua kelompok besar yang terkesan sengaja diciptakan melalui narasi Islam versus nasionalisme.
Keduanya nampak sangat ta’ashub dalam berhadap-hadapan. Seakan-akan sah dikatakan secara gamblang kira-kira demikian, “jika anda kuat Islamnya berarti anda tidak nasionalisme dan anti kebhinekaan, atau jika anda nasionalisme maka anda akan masuk neraka”.
Dikotomi demikian semakin menampakkan kebenarannya dengan maraknya konflik-konflik di daerah atas pertentangan dua kubu tersebut. Kasus penolakan Ustad Abdus Shomad di Bali atas dasar tuduhan bahwa Abdus Shomad tidak mengajarkan kebhinekaan beberapa waktu kemarin dapat menjadi contoh yang baik dalam hal ini.
Di sisi lain, kelompok-kelompok ta’ashub Islam juga melancarkan propaganda-propaganda melalui berbagai media sosial dengan menguatkan identitas keumatan yang cukup rawan berhadapan dengan identitas kewarganegaraan.
Mengapa penulis menyebut fenomena perselisihan antara kubu nasionalisme dan Islam sama-sama merupakan sikap ta’ashub? Penulis kembali lagi pada pengertian ta’ashub yang telah dijabarkan di awal tulisan. Membabi buta terhadap pandangan tertentu dan mengesankan semua pembenaran terhadap hal itu adalah sebuah ta’ashub, bukan sebagai kesetian dengan pengertian atas dasar tanggungjawab kebangsaan maupun keagamaan. Sebab, tidak ada titik temu yang menjembatani keduanya bermesraan. Ditambah lagi dengan indikator kemarahan yang meluap-luap dan saling meniadakan satu sama lain.
Bagi kelompok ta’ashub Islam, harus disadari sebuah tatanan sistem politik dan pemerintahan di negara manapun adalah produk dari ijtihad para ulama di negara tersebut. Maka, persoalan politik, sebagaimana sering dijelaskan Mahfud MD, adalah persoalan dalam wilayah ijtihadiyah (proses memaksimalkan pikiran untuk menemukan hukum dalam konteks tempat dan waktu tertentu), bukan qoth’I (tetap dan tidak berubah).
Bagi kelompok ta’ashub nasionalisme, janganlah terlalu berlebihan untuk memusuhi kelompok Islam dengan membenturkannya dengan simbol-simbol nasionalisme. Bagaimana pun juga, namanya identitas keagamaan tidak bisa digantikan dengan identitas apa pun karena agama adalah kesadaran paling mendasar bagi manusia. Yang bisa dilakukan adalah menyeleraskannya beriringan dengan nasionalisme.
Apalagi tahun depan semakin dekat dengan pesta demokrasi pemilihan presiden, semoga bukan menjadi tahun yang lebih ngeri lagi. Dikhawatirkan ta’ashub akan semakin meruncing terjadi.
Sebagai penutup, Ta’ashub juga merupakan sikap yang berlebih-lebihan dalam hal mencintai sesuatu. Untuk menghindarinya, seperti yang sering disampaikan Gus Mus, kita harus belajar untuk tidak berlebih-lebihan dalam segala sesuatu supaya kita bisa hidup dengan menerapkan prinsip berimbang, moderat dan sebenarnya tetap tegak terhadap prinsip kebenaran. Itu adalah ajaran Islam.
Semoga Allah SWT memberikan cahaya pada kalbu kita sehingga kita bisa lebih dingin memandang segala persoalan keagamaan dan kebangsaan ini, serta menghindarkan kita dari sifat ta’ashub. Amien.
Wallahu A’lam.