Hasrat manusia paling mendasar adalah rasa ingin tahu. Rasa ini, sudah tentu bagi pelbagai hal yang belum tahu, lebih tepatnya “apa yang baru”. Dan yang baru itu ternyata bukan melulu apa yang jauh. Bisa jadi sangat dekat. Misalnya, agama yang dianut rekan sekitar kita. Bukankah menarik jika kita ingin tahu agama rekan kita yang notabene bukan agama yang kita peluk. Apakah ini baik? Hemat saya, tentu saja baik-baik saja, selama itu dengan tujuan-tujuan yang baik, demi menjaga keharmonisan dan kerukunan antar sesama umat beragama.
Dewasa ini, pengetahuan tentang agama lain menjadi perlu untuk dipelajari mengingat seringkali terjadi kesalahpahaman sudut pandang seseorang terhadap suatu agama yang tidak dianutnya. Misalnya stereotip warga di Amerika yang menganggap setiap muslim adalah teroris.
Hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan yang tak jarang terjadi juga di Indonesia. Bukan hanya non-muslim yang kerap beranggapan negatif terhadap Muslim, tetapi banyak warga Muslim pun berpikiran sama terhadap non-muslim. Untuk menangani masalah ini, demi menjaga kerukunan dan mencegah terjadinya pertikaian, dibutuhkan solusi untuk meluruskan pandangan atau stereotip negatif terhadap sesama umat beragama. Kita butuh pemahaman yang benar terhadap “yang lain”. Dan berdialog lintas agama bisa menjadi alternatif mencari informasi yang valid.
Saya merasa sangat senang sekali, kala bisa ikut serta dalam acara kunjungan lintas iman muhibbah yang diinisiasi oleh Wahid Foundation ke salah satu gereja Katholik di Tasikmalaya, Gereja Hati Kudus Yesus. Dalam acara tersebut, saya bisa berdialog langsung dengan saudara atau tokoh-tokoh Katholik. Saya bisa sedikit tahu Katholik dari orang yang sepatutnya berbicara tentang Katholik, atau orang Katholik sendiri. Ingin rasanya, saya membagikan beberapa informasi menarik yang “mungkin” sering kali disalahfahami oleh masyarakat luas.
Sudah bertahun-tahun kiranya, kita sering mendengar isu Kristenisasi dengan membagi-bagikan sembako. Saya pun melontarkan pertanyaan tentang ini di acara tersebut. Terlihat, kala mendengar pertanyaan yang mungkin “bodoh” ini, mereka tersenyum.
Saya rasa, senyuman mereka tulus.
“Kami setiap tahun rutin mengadakan Pasar Murah dan dilaksanakan setiap bulan Ramadhan,” jawab salah seorang dari mereka. “Dan tak ada niat dari kami untuk melakukan Kristenisasi. Benar bahwa dana Pasar Murah adalah dana jamaat yang kami dapat dari zakat 20 % dari penghasilan mereka, hanya saja dana itu kami salurkan buat kemanusiaan dan demi menjalin sillaturahmi dengan sesama hamba Tuhan.
Kalau benar itu Kristenisasi, sudah bertahun-tahun kegiatan itu kami lakukan dan jamaat kami tetap saja sedikit, lantas apakah kami jadi menghentikan kegiatan tersebut? Tidak. Sama sekali tak ada niat Kristenisasi,” lanjutnya.
Ia pun menambahkan,“Dan Puji Tuhan, masyarakat sekitar kami pun tak ada yang menilai bahwa itu Kristenisasi. Karena mereka tahu, bahwa kami benar-benar tak ada niat Kristenisasi. Lalu, kalau akan saudara kami orang Islam yang menyangka itu Kristenisasi, mungkin karena mereka tidak menyaksikan langsung acara tersebut, mungkin karena mereka tidak tahu saja.”
Mendengar jawaban itu, saya teringat ujaran guru saya yang mengutip (konon) hadits, al-insan ‘aduwu ‘ala ma jahili, “manusia adalah musuh dari ketidaktahunannya”. Karena tidak tahu Kristiani, maka kita cendrung membenci Kristen. Dari ketidaktahuan itu pula kita cendrung mencurigai kegiatan-kegiatan social saudara kita kaum Kristen.
Hemat saya, dalam amal sosial, Islam dan Katholik sama-sama memiliki tujuan yang sama, membantu beban ekonomi kaum papa, dalam Bahasa lain – kemaslahatan umat.Dalam acara muhibbah kami, salah seorang peserta ada juga yang bertanya tentang laku-ritual Katholi, semisal puasa. Mereka menjawab bahwa Katholik melaksanakan puasa, hanya saja puasanya “berbeda” dengan orang Islam.
Menurut mereka, puasa pada hari rabu dan jumat agung Pra Paskah, yang merupakan peringatan hari wafatnya Yesus Kristus. Selain itu, selama 40 hari Pra Paskah juga dikenal dengan hari Pantang, dimana para jemaat gereja pantang memakan, meminum, atau melakukan “sesuatu” pada hari-hari tersebut.
“Apakah ada sangsi jika ada jemaat tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut?” pertanyaan tambahan dari peserta muhibbah ini.
Mereka pun menjawab,“Pihak gereja tidak mencampuri urusan pribadi jemaatnya, karena urusan taubat merupakan urusan pribadi yang harus diselesaikan dengan kesadaran sendiri. Hanya saja, dalam Agama Katholik seseorang yang berdosa bisa bertaubat di hadapan imam mereka. Imam mereka kita kenal sebagai Pastur atau Romo. Karena dalam Agama Katholik terdapat ritual yang dinamakan Sakramen Pengakuan Dosa. Sakramen Pengakuan Dosa Atau Sakramen Taubat ini merupakan salahsatu sakramen dalam 7 sakramen dalam ajaran agama Katholik. Dan pengakuan dosa sendiri dilakukan dengan tertib di ruangan kecil di dalam gereja.
Setiap agama punya keunikan tersendiri, dalam bahasa lain “doktrin”, seperti pengampunan dosa dalam Katholik. Tanpa doktrin, agama adalah filsafat. Hemat saya, keunikan agama inilah yang bisa melanggengkan identias sebuah agama. Hanya saja, jika pemeluk agama lupa akan makna keunikan agamanya, yang tiada lain adalah “kasih”, maka agama akan dengan mudah ditinggalkan oleh manusia di masa depan. Karena watak dasar manusia tak ingin bertikai, tak ingin perang, tak ingin hidup dalam tumpahan darah. Menurut saya, hidup dengan keunikan agama kita masing-masing dengan tanpa saling curiga atau buruk sangka, adalah cara membangun kehidupan yang diharapkan Tuhan, toleran dan penuh kasih. [ ]
Risa Siti Azizah, salah seorang alumni Training Content Creator Wahid Foundation asal Kota Tasikmalaya