Muslim yang Memilih Jadi Marxis

Muslim yang Memilih Jadi Marxis

Tan Malaka meninggalkan semua fasilitas sebagai seorang priyayi yang sangat lengkap, dan menahbiskan dirinya sebagai marxis sejati.

Muslim yang Memilih Jadi Marxis
ilustrasi karl marx yang bersorban

 Dalam sejarah Indonesia, ada seorang tokoh yang didaulat sebagai bapak bangsa Indonesia. Nama beliau bernama Oemar Said Tjokroaminoto, notebene sebagai pimpinan paling terkenal dari sebuah gerakan bernama Sarekat Islam. Yang menjadi motor penggerak akan gerakan kemerdekaan Indonesia.

Dalam rumah beliaulah, belajar beberapa orang remaja yang nanti akan menjadi tokoh-tokoh pemikir besar dalam sejarah Indonesia. Ada Soekarno, Alimin, Semaoen dan Kartosoewiryo, yang belajar di sebuah rumah kecil yang menjadi asrama bagi mereka. Diskusi hingga perdebatan selalu menghiasi rumah tersebut, sebab masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda. Soekarno yang nasionalis, Semaoen dan Musso yang terpengaruh sosialisme dan marxisme, sedangkan Kartosoewiryo memilih Islam sebagai kecenderungan.

Diskusi-diskusi yang meramaikan rumah di daerah Peneleh tersebut sangat memperkaya pemikiran masing. Bahkan murid belakangan dari Tjokroaminoto asal Sumatera bernama kecil Ibrahim atau yang lebih akrab kita kenal dengan Tan Malaka, pernah mengeluarkan buah pemikiran yang menginginkan Islam dan Sosialisme bahkan Komunisme harus melirik Islam sebagai ajaran yang paling dekat dengan cita-cita negara Komunis.

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa dalam ranah pemikiran adalah sebuah yang tidak tabu bahwa Islam bersentuhan dengan sebuah ideologi sebagai upaya untuk melihat permasalahan dunia lebih baik lagi. Tan Malaka pernah menjelaskan bahwa jalan hidupnya yang awalnya menjadi seorang pedagog hingga memilih untuk mempunyai kecenderungan marxis, adalah pengalaman beliau yang tidak tahan melihat penindasan kepada masyarakat golongan bawah.

Pada tahun 1919, Tan Malaka kembali dari pengembaraannya menuntut ilmu di negeri Belanda ke tanah Minang dengan memiliki timbunan paham marxisme dan bolshevisme di kepalanya. Pengalamannya yang tidak hanya keindahan alam Minang akan sungai dan lembahnya, namun juga sudah menembus horizon seantero Eropa.

Pengalaman yang mulai menggugah rasa kemanusiaannya adalah saat Tan Malaka bekerja di sebuah perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda sebagai guru, di mana saat bekerja yang sudah mendapatkan upah setara dengan guru-guru yang berasal dari Eropa. Namun di perkebunan inilah penghisapan dan eksploitasi para buruh kebun sudah sangat terlihat di depan mata.

Tan Malaka melihat bagaimana sistem kapitalisme yang paling busuk terjadi di perkebunan tersebut dengan mata kepala sendiri, kelas pekerja dihisap, rasilaisme antar perbedaan warna kulit secara sepihak, dan hasil bumi dikuras dan diangkut oleh para borjuis penjajah Belanda, dalam masa itulah Tan Malaka yang sudah terpengaruh marxisme dan bolshevisme untuk bergerak.

Hary Prabowo menuliskan semangat melawan penindasan ala komunisme milik Tan Malaka semakin bergelora melihat penindasan di tanah Hindia Belanda ini, dengan bermodal itulah Tan Malaka kemudian mengorganisir pemogokan buruh kereta api setempat.

Dari kejadian tersebut, Tan Malaka menuliskan sebuah risalah kecil berjudul Parlemen atau Soviet. Dalam risalah tersebut Tan Malaka menempatkan dirinya sebagai teoritikus marxis yang tajam. Dalam risalah itulah Tan Malaka menisbatkan dirinya sebagai yang berpihak kepada marxis dan bolshevisme menjadi arah perjuangan pembebasan kaum buruh.

Tan Malaka yang sudah sangat membenci akan perilaku para borjuis kolonial Belanda, akhirnya memilih untuk melakukan “bunuh diri kelas” yaitu dia meninggalkan semua fasilitas sebagai seorang priyayi yang sangat lengkap, dan menahbiskan dirinya sebagai marxis sejati. Kemudian dia menyeberang ke Jawa dengan membawa api dan dendam akan penghisapan kolonial atas negeri yang di mana ia dilahirkan.

Seketika Tan Malaka didaulat menjadi ketua PKI, dalam rangka menggantikan Semaoen. Dia sangat berambisi mendamaikan perseteruan antara komunisme dan Islamisme yang sedang meruncing saat itu. Menurut Tan Malaka, perseteruan ini hanya akan memberikan angin segar pihak kolonial yang sedang getol melakukan politik belah bambu (devide et empera).

Menurut Tan Malaka, kolaborasi antara kaum muslimin dan kaum komunis adalah strategi perjuangan revolusioner menumbangkan kolonialisme dan imperialisme yang sudah jelas-jelas menjadi penghisap di tanah ini. Bahkan ketika berpidato dalam pertemuan Komintern IV, Tan Malaka menegaskan argumen ini berseberangan dengan kebanyakan elit Komintren yang memaknai Pan Islamisme sebagai varian kekuatan borjuasi yang nantinya akan mengusulkan imprealisme.

Perjuangan Tan Malaka ini memberikan contoh kepada kita bahwa jika menginginkan kebangkitan Islam janganlah cuma melihatnya sebagai oposisi biner dalam skema dikotomis “Islam” vs “Barat”, namun harus ada keberpihakan. Mana yang Islam dan mana yang Barat bukanlah berbicara soal geografi apalagi soal pusat kapitalisme yang oleh Moeslim Abdurrahman sebagai penyebar “the consumer culture”, namun harus dilihat pertentangan antara perjuangan akan keadilan yang memang dirindukan seluruh manusia yang menentang akan penghisapan dan eksploitasi akan manusia yang lain.

Sebab menurut Ali Syariati, tugas seorang manusia dalam kehidupan di dunia ini adalah wakil Allah di dunia ini yang akan melakukan kebaikan kepada siapa saja, bukan malah menindas, menyingkirkan apalagi membunuh mereka yang seharusnya mendapatkan pembelaan, seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka, dengan pemahaman marxis yang dia miliki melakukan pembelaan kepada manusia yang lain. Disinilah Tan Malaka, membuktikan Islam akan benar-benar merahmati seluruh alam selama membela yang tertindas.