Tak lama ini, penerbit bonafit kelas dunia, Dar al-Minhaj, menerbitkan salah satu karya Ulama Nusantara. Kitab itu berjudul Hasyiyah at-Tarmasi buah pena al-‘Alim al-‘Allamah al-Faqih al-Mudaqqiq al-Mutafannin al-Fahhamah al-Muttaqin al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri’ as-Syaikh Muhammad Mahfudz bin ‘Abdullah at-Tarmasi al-Jawi al-Makki al-Syafi’i (1285-1338 H/1868-1919 M), yang di Indonesia masyhur dengan sebutan Kiai Mahfudz Termas.
Kitab ini dicetak dalam format luxurious sebanyak tujuh jilid besar. Setiap satu jilid berjumlah lebih dari 800 halaman, jadi bisa dibayangkan betapa tebalnya masterpiece At-Tarmasi itu. Tak hanya secara fisik, subtansi yang terkandung di dalamnya sangat luas dan berbobot. Bahkan, kitab ini diyakini sebagai kitab fikih terakhir madzhab Syafi’i.
At-Tarmasi merupakan al-muhasyyi (yang memberikan hasyiyah atau penjelas) atas kitab Al-Manhaj al-Qawim karya al-Imam al-Faqih al-Mujtahid Ibnu Hajar al-Haytami (909-974 H/1503-1566 M). Sedangkan karya Ibnu Hajar itu merupakan syarh dari kitab Masail al-Ta’lim atau terkenal juga dengan Al-Muqaddimah al-Hadramiyah karya al-Imam al-’Allamah al-Faqih Abdullah Ba Fadhl al-Hadrami al-Syafi’i (850-918 H/1446-1512 M).
Editor kitab yang terhimpun dalam Al-Lajnah al-Ilmiah bimarkaz Dar al-Minhaj liddirasat wa al-Tahqiq al-‘Ilmi di Damaskus Syiria ini tidak berlebihan menyebut at-Tarmasi dengan banyak gelar seperti yang disebut di awal tulisan ini. Sebab, at-Tarmasi memang sangat menguasai banyak ilmu dan berandil besar dalam berbagai disiplin keilmuan. Karya at-Tarmasi tak kurang dari 19 yang disebutkan editor di kitab tersebut. Tak hanya dalam fikih dan ushul, at-Tarmasi juga menulis dalam bidang hadis, musthalah hadis, qira’at, tsabat, riwayat, dan tasawuf.
Penulis pernah berinteraksi langsung dengan beberapa kitab asli peninggalan At-Tarmasi. Kitab itu berangka tahun 1304 H (1886 M) artinya, at-Tarmasi masih berusia 19 tahun. Yang menarik bagi penulis, di usia remaja itu at-Tarmasi sudah memiliki keinginan besar untuk menjadi sosok ulama yang mengamalkan ilmunya. Hal ini terbukti dari dua goresan beliau pada cover kitab setelah ia menulis identitas namanya sendiri;
Pertama, fatahallahu ‘alaihi futuh al-‘Arifin. Amin. Jika diartikan secara bebas tulisan ini bermakna doa, “Semoga Allah membukanya sebagaimana dibukakannya para orang-orang arif bijaksana”. Kedua, ja’alahullah min al-ulama al-‘amilin al-rasikhin. Amin. Artinya, semoga Allah menjadikannya sebagian dari ulama yang mengamalkan ilmunya dan orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu.
Doa itu ditulisnya di kitab yang ia gunakan mengaji kepada sang guru panutannya, Syaikh Abu Bakr Syattha pengarang kitab I’anah al-Thalibin. Bertahun-tahun hal itu tertanam menjadi trigger bagi At-Tarmasi dan pada akhirnya Allah Swt mengabulkan doa at-Tarmasi dan menjadikannya sebagai ulama besar yang produktif dan berkontribusi luas tanpa batas.
Spirit at-Tarmasi inilah yang harus diteruskan oleh penuntut ilmu—terlebih para santri dan mahasiswa. Mereka bisa membubuhi doa dan cita-cita setelah namanya ditulis. Bukan malah selalu mencantumkan akun Instagram dengan tujuan hanya menambah jumlah follower dan berambisi jadi selebgram yang mengumbar rupa tanpa kontribusi keilmuan dan kesalehan. Hadanallah
Fathurrochman Karyadi, mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi filologi.