Pada Tahun 2006, seperti dilansir oleh berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, wuquf di ’Arafah yang merupakan puncak dari ibadah haji pada tahun 1427 Hijriyyah jatuh pada hari Jum’at tanggal 29 Desember 2006.
Hari ’Arafah di Arab Saudi pada tahun tersebut memang berbeda dengan sebagian negeri Islam yang lain, khususnya di Indonesia yang pemerintah dan ormas-ormas Islamnya sepakat menetapkan hari ’Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah 1427 Hijriyyah) jatuh pada hari Sabtu tanggal 30 Desember 2006.
Terjadinya perbedaan dalam menetapkan hari raya kurban (’Idul-Adlha) dan hari ’Arafah pada tahun itu antara pemerintah Arab Saudi, negeri tempat berlangsungnya prosesi ritual haji, dengan pemerintah Indonesia khususnya, bertitik tolak dari perbedaan dalam penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1427 H. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Rabu petang tanggal 20 Desember 2006, sedangkan pemerintah Indonesia menetapkan masuknya awal Dzulhijjah esok harinya.
Berdasarkan prinsip kedaulatan masing-masing pemerintah untuk menetapkan hari-hari besar keagamaan rakyatnya dan dengan mempertimbangkan perbedaan letak geografis masing-masing negara yang hal itu berpengaruh terhadap saat terbitnya bulan di ufuk, yang dalam istilah para ahli fiqih (fuqaha) disebut ikhtilaf al-mathali’, maka perbedaan dalam penetapan hari ’Arafah dan ’Idul-Adha tersebut di atas dapat kita pahami.
Tulisan bersahaja ini tidak dimaksudkan untuk membahas dan memperdebatkan perbedaan tersebut di atas, melainkan untuk memperbincangkan masalah yang menjadi konsekuensi dari keputusan pemerintah Arab Saudi dalam menetapkan hari wuquf di ’Arafah jatuh pada hari Jum’at. Dalam pandangan banyak orang, ibadah haji yang ritual wuqufnya jatuh pada hari Jum’at merupakan haji akbar (haji terbesar).
Di kalangan mereka, hal ini sudah menjadi keyakinan, bukan saja di kalangan masyarakat awam, melainkan juga di kalangan sebagian elit keagamaan ( baca : ulama ), apalagi di kalangan elit birokrasi, seperti pejabat dan petugas haji Departemen Agama.
Untuk kalangan terakhir ini, dapat kita simak pernyataan mereka dalam menetapkan beberapa kebijakan yang diberlakukan kepada para jama’ah haji asal Indonesia dalam rangka mengantisipasi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh adanya haji akbar. Hal itu terutama berkait dengan jumlah jama’ah haji tahun ini yang dipastikan lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya, sehingga musibah Mina atau yang lain dikhawatirkan akan berulang kembali.
Haji Akbar dalam Gambaran Masyarakat Umum
Menunaikan ibadah haji pada tahun ini dianggap sesuatu yang sangat istimewa, karena menurut keyakinan yang umum haji tahun ini merupakan haji akbar. Berbagai keistimewaan dari haji akbar dipaparkan oleh para da’i dan muballigh, sehingga tidak mengherankan apabila jumlah peminat untuk menunaikan ibadah haji tahun ini meningkat tajam.
Hal ini pastinya menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Arab Saudi yang rajanya menyandang predikat kehormatan khusus sebagai khadim al-Haramayn (pelayan dua tanah Haram Makkah dan Madinah). Konon menurut rumor yang berkembang di masyarakat, pemerintah Arab Saudi sangat direpotkan oleh berlangsungnya haji akbar, sehingga diceritakan dalam rumor itu bahwa pemerintah Arab Saudi berusaha sekuat tenaga untuk menggeser hari wuquf di ’Arafah menjadi maju ke hari Kamis atau mundur ke hari Sabtu, yang hal ini jelas merupakan suatu tindakan manipulasi keagamaan yang tidak bertanggungjawab. Wal-’iyadz billah dari kemungkinan pemerintah Arab Saudi berbuat seperti itu.
Rumor tersebut di atas menjadi terbantah pada tahun 2006, ketika pemerintah Arab Saudi menetapkan hari wuquf jatuh pada hari Jum’at 29 Desember 2006, sementara beberapa negeri Islam seperti Indonesia menjalani hari ’Arafah 9 Dzulhijjah 1427 pada hari berikutnya. Apabila memang benar bahwa pemerintah Arab Saudi berusaha menghindar dari hari Jum’at sebagai hari wuquf, pastilah tahun 2006 mereka tetapkan wuquf pada hari Sabtu, yang hal ini dianggap sebagai kewajaran karena bersamaan dengan beberapa negeri Islam yang lain. Dengan demikian, kesan rekayasa dan manipulasi dapat dihindari atau diminimalisir.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah: apakah keyakinan tentang haji akbar sebagai ibadah haji yang ritual wuqufnya berlangsung pada hari Jum’at itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam perspektif studi Islam, ataukah sebaliknya; hal ini layak untuk segera memperoleh kejelasan.
Haji Akbar Dalam Diskursus Para Ulama
Di dalam kitab suci al-Qur’an haji akbar disebut dalam surat 9 (At-Taubah) ayat 3 yang artinya:
“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji yang terbesar (yawm al-hajj al-akbar) bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin…”.
Para ahli tafsir memperbincangkan lebih jauh arti dari hari haji akbar dalam ayat ini. Semua kitab tafsir yang penulis sempat baca mengemukakan kontroversi (ikhtilaf) ulama yang sebagian besar bermuara pada dua pendapat yang paling populer, yakni hari ’Arafah dan hari nahar (hari ’Idul-Adlha) tanpa mengkait-kaitkan hari ’Arafah dengan hari Jum’at.
Hal itu dapat dibaca dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir al-Jalalayn karya tulis dua orang bernama Jalal, yakni Jalal a-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi dan kedua kitab komentar (hasyiyah)-nya yang ditulis oleh al-Jamal dan al-Shawi yang sangat populer di kalangan pesantren kita.
Demikian pula dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim karya Ibn Katsir, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurthubi yang termasuk kitab tafsir klasik dan Tafsir al-Manar karya M. Rasyid Ridla yang termasuk dalam kategori tafsir modern.
Pada umumnya para ulama menurut kitab-kitab yang sebagiannya telah disebutkan di atas memilih pendapat bahwa hari haji akbar adalah hari raya ’Idul Adlha (hari nahar), karena pada hari itulah sebagian besar prosesi ibadah haji dilangsungkan. Ditambahkan pula bahwa penyebutan kata akbar (besar atau terbesar) sebagai sifat dari kata haji adalah untuk mengimbangi ibadah ’umrah yang disebut sebagai haji kecil (ashghar).
Dari kitab-kitab tafsir tersebut di atas, hanya satu kitab yang menyinggung haji akbar sebagai haji yang wuqufnya jatuh pada hari Jum’at, yakni Tafsir al-Manar karya M. Rasyid Ridla. Itu pun tidak dalam konteks mendukung, melainkan sebaliknya justru dalam konteks menyepelekan dan merendahkan. Hal itu dilakukan oleh Ridla ketika menyinggung prosesi wuquf Nabi pada haji wada’ (haji perpisahan). Dikatakan bahwa wuquf pada saat itu berlangsung pada hari Jum’at. Atas dasar itulah, tulis Ridla, orang-orang awam menyebut ibadah haji yang wuqufnya jatuh pada hari Jum’at sebagai haji akbar.
Dari paparan di atas, tampak dengan jelas bahwa keyakinan tentang haji akbar yang berkembang selama ini tidak memiliki landasan yang kuat dan mapan dalam kitab-kitab tafsir. Hal yang sama terjadi pula dalam kitab-kitab hadis, karena kitab-kitab tafsir tersebut di atas memang menggunakan kitab-kitab hadis sebagai rujukan masing-masing pendapat ulama dalam menentukan arti haji akbar.
Dalam kaitannya dengan kitab-kitab fiqih (hukum Islam), keadaannya tidak lah berbeda. Sebagai contoh, dalam kitab tuntunan prosesi ritual haji dan ’umrah (manasik) yang paling otoritatif di kalangan pesantren dan pengikut madzhab al-Syafi’i pada umumnya yakni kitab al-Idlah fi Manasik al-Hajj wa al-’Umrah, karya al-Imam an-Nawawi, pakar fiqih madzhab al-Syafi’i terkemuka, hanya disebut dua pendapat tentang haji akbar, yakni hari ’Arafah dan hari ’Idul-Adha. Al-Nawawi memilih ’Idul-Adha.
Di sini sama sekali tidak disinggung pendapat bahwa haji akbar adalah haji yang ritual wuqufnya jatuh pada hari Jum’at. Demikian pula ketika an-Nawawi memaparkan tentang pelaksanaan wuquf yang bertepatan dengan hari Jum’at, ia sama sekali tidak menyinggung keberadaan haji akbar dengan keistimewaan-keistimewaannya seperti yang digambarkan masyarakat awam, melainkan ia menegaskan tentang tidak perlunya sholat Jum’at, karena jama’ah haji tidak dalam status bertempat tinggal dan menetap (iqamah dan istithan) di ’Arafah.
Demikianlah wacana yang berkembang di kalangan para ulama tentang haji akbar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa arti haji akbar adalah ibadah haji itu sendiri dan itu berlangsung setiap tahun, terlepas dari hari apakah prosesi ritual wuqufnya berlangsung.
Hal ini sebagai imbangan dari umrah sebagai haji ashghar (kecil). Sedangkan hari haji akbar (yaumul hajj al-akbar) yang disebut dalam surat 9 (al-Taubah) ayat 3 adalah hari Arafah atau hari nahar pada tahun 9 Hijriyyah ketika ayat itu turun.
Bahwa ketika setahun kemudian (tahun 10 Hijriyyah) Rasulullah Saw. melaksanakan haji wada’ yang secara kebetulan wuqufnya jatuh pada hari Jum’at, maka hal itu tidak dapat mengantarkan orang kepada kesimpulan bahwa hanya ibadah haji yang prosesi wuqufnya berlangsung pada hari Jum’at saja yang layak menyandang predikat haji akbar, sedangkan yang lain tidak berhak.
Walhasil pemahaman masyarakat awam tentang haji akbar perlu diluruskan. Pelurusan ini sangat penting, baik dalam menyelamatkan mereka dari impian dan khayalan tentang keistimewaan haji akbar yang sulit dicarikan landasan teologisnya, maupun dalam mencegah jumlah jama’ah haji yang membeludak di luar kontrol yang sangat potensial memunculkan tragedi Mina untuk kesekian kalinya.
Di tangan para ulama dan pemerintah negeri-negeri Islam lah tugas meluruskan pemahaman tentang arti haji akbar ini dibebankan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Oleh: Dr. K.H. Malik Madany, MA.
Tulisan ini telah dimutakhirkan oleh redaksi islami[dot]co.