Kisah tentang perempuan yang meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah muncul bersamaan dengan dimulainnya periwayatan hadis. Asalkan, memenuhi syarat-syarat diterimanya sebuah hadis, yaitu sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit, tidak ada syadz dan illat. Para ahli hadis juga menyatakan bahwa jenis kelamin dan status seseorang tidak bisa di jadikan dasar diterima atau tidaknya suatu berita atau kesaksian.
Pernyataan tersebut diamini oleh beberapa tokoh seperti al-Khatib, Adz- Dzahabi, Ibnu Shalah dan An-Nawawi. Menurut al-Khatib, Nabi Muhammad SAW pernah meminta kesaksian Barirah dan beberapa perempuan lain tentang hadits al-Ifki yaitu peristiwa yang bercerita tentang isu perselingkuahn Aisyah.
Sedangkan adz-Dzahabi dalam kitabnya menjelaskan bahwa ia tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh berdusta dan ditinggalkan haditsnya. Adapun Ibnu Shalah dan An-Nawawi tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin melainkan dengan kualitas-kualitas tertentu. Oleh karenya, para ahli hadis menetapkan syarat bahwa tidak ada larangan bagi perempuan untuk meriwayatkan hadis.
Terkait permpuan yang dikategorikan lemah, semata-mata karena tidak ada informasi yang lebih jauh tentang latar belakang kehidupan mereka. Diadakannya majelis ta’lim khusus perempuan yang diisi oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, tentunya akan semakin memperluas keterlibatan beberapa perempuan yang bukan termasuk istri Nabi Muhammad SAW dalam periwayatan hadis. Berkat adanya majelis tersebut, tidak hanya terjadi sebuah transmisi hadis, melainkan juga telah menunjukan kualitas keagamaan dengan tingkat integritas, intelektualitas dan kepercayaan yang tinggi.
Masa Atba’ at-Tabi’in (tabi’it tibi’in) yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah orang yang pernah bertemu dengan at-Tabi’in dalam keadaan beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan meninggal dalam keadaan Islam. Masa hidup Atba’ at-Tabi’in terkahir adalah tahun 220 H. Setelah tahun tersebut tidak ada lagi Atba’ at-Tabi’in yang masih hidup. perempuan periwayat hadis
Jumlah perempuan Atba’ at-Tabi’in yang meriwayatkan hadis dalam al-Kutub at-Tis’ah berjumlah 26 orang dengan 37 riwayat hadits. Sembilan belas orang masing-masing meriwayatkan satu hadis, enam orang meriwayatkan dua hadis dan satu orang meriwayatkan enam hadis.
Adapun tiga puluh tujuh hadis yang diriwayatkan tersebut terdapat dalam Sunan al-Tirmidzi sebanyak empat hadis, Sunan al-Nasai sebanyak tiga hadis, Sunan Abu Dawud sebanyak sepuluh hadis, Sunan Ibn Majah sebanyak enam hadis, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimy sebanyak tujuh hadis. Sedangkan dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan al-Muwathatha, tidak satupun terdapat hadis yang diriwayatkan oleh perempuan. Berikut lima periwayat hadis perempuan masa Atba’ at-Tabi’in:
Pertama, Ummu Janub binti Numailah. Ia meriwayatkan satu hadis dengan satu sanad tentang sabda nabi yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan air sebelum ada orang Islam yang telah mendahuluinya, maka air itu menjadi miliknya. Hadis itu ia riwayatkan dari ibunya : Suwaidah binti Jabir dari ibunya: ‘Aqilah binti Asmar dari ayahnya: Asmar ibn al-Mudharris dan terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud.
Kedua, Abdah binti Khalid bin Mi’dan. Ia meriwayatkan enam hadis yang kesemuanya terdapat dalam kitab Sunan al-Darimi. Satu hadis dalam Muqaddimah, dan lima hadis lainnya dalam bab Fadhail al-Qur’an. Keenam hadis yang ia riwayatkan berkaitan tentang keutamaan membaca Al-Qur’an. Semua hadisnya bersumber dari Khalid bin Mi’dan, seorang tabi’in. Oleh karenanya hadis riwayatnya adalah menjadi maqthu’ dan tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi ‘Abdah sendiri adalah periwayat yang tsiqqah.
Ketiga, Ummu al-Hasan Jaddah Abu Bakar al-Adawiy. Terdapat satu hadis yang diriwayatkan oleh Ummu al-Hasan dengan dua jalur sanad yang keduanya ia riwayatkan dari Mu’adzah dari Aisyah yaitu terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Musnad Ahmad ibn Hanbal. Hadis tersebut berkaitan tentang darah haid yang mengenai pakaian tidak harus dicuci. Hadis tersebut marfu’ dan muttasil sampai kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, Ummu al-Hasan adalah perempuan periwayat hadis yang tidak dikenal oleh ulama rijal al-hadis, sehingga hadis yang ia riwayatkan menjadi daif, karena majhul.
Keempat, Hafshah Umm Hafs. Ia meriwayatkan satu hadits dengan satu sanad yang ia riwayatkan dari Shafiyyah binti Jarir dari Ummu Hakim binti Wadda dan terdapat dalam kitab Sunan ibn Majah. Hadisnya berkenaan dengan sabda Rasulullah bahwa doa orang tua itu melapangkan hijab. Hafshah ini merupakan guru dari Hubabah ibnat ‘Ajlan, dan hadis serta sanadnya juga sama.
Kelima, Raythah binti al-Harits. Ia meriwayatkan satu hadis dengan dua sanad yang kesemuanya ia terima dari Kabsyah binti Abi Maryam dari Ummu Salamah dan terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Haditsnya berkaitan dengan larangan Nabi Muhammad SAW untuk membuat minuman dengan mencampur nabidz dan tamr (keduanya adalah jenis kurma tertentu). Sanad hadisnya marfu’ dan muttashil, hanya saja ada dua orang yang tidak dikenal ahwal kredibilitasnya yaitu Kabsya binti Abi Maryam. Raythah binti Haris sendiri juga tidak dikenal keberadaannya oleh para ulama rijal al-hadits.
Keenam, Ummu Muhammad bin Harb. Ia meriwayatkan satu hadis dengan satu sanad yang berisi anjuran Rasulullah SAW agar orang mengisi perutnya, sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman dan sepertiga untuk udara. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah. Ummu Muhammad menerima hadis dari ibunya dengan sanad hadis tersebut marfu dan muttashil. Hanya saja, ibunya Ummu Muhammad tidak diketahui namanya sehingga keberadaannya pun tidak diketahui. Ummu Muhammad sendiri juga tidak diketahui oleh para ulama rijal al-hadis, sehingga karenanya hadits riwayatnya berkualitas daif. (AN)
Wallahu A’lam