Menyaksikan zaman gila/serba susah dalam bertindak/ikut gila tidak akan tahan/tapi kalau tidak mengikuti (gila)/tidak akan mendapat bagian/kelaparan pada akhirnya/namun telah menjadi kehendak Allah/sebahagia-bahagianya orang yang lalai/akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Kalimat-kalimat di atas adalah puisi Ronggowarsito dalam karyanya Serat Kalatida, yang terkenal itu. Ronggowarsito atau Bagus Burhan adalah priyayi Kasunan Surakarta yang lahir tanggal 15 Maret 1802. Ini artinya, andai Ronggowarsito masih sugeng, umurnya hari ini 215 tahun. Sebelumnya melanjutkan membaca, baiknya mengirimkan surat al-Fatihah dulu untuk almaghfurlah Kiai Ronggowarsito. Alfatihah..
Puisi di atas –tentu aslinya berbahasa Jawa– adalah ungkapan kegundahan hati pada pemerintahan Pakubuwono IX dan para pejabatnya yang hedonis. Mereka para penguasa mengkampanyekan kesmobongan dan memerkan kekayaan. Akal sehat dianggurkan. Agama dan rakyat disepelkan. Maling dipuja-puja dan banyak temannya.
Zaman seperti itu, oleh Ronggowarsito disebut zaman Kalabendu. Almarhum WS Rendra –penyair besar yang juga asli Surakarta– mengatakan, zaman Kalabendu atau zaman edan itu adalah zaman yang aman dan mantap stabilitasnya. Tapi alat yang digunakan untuk stabilitas tersebut ialah penindasan.
Kepenyairan dan kematang jiwa Ronggowarsito digembleng di masjid Tegalsari. Masjid Tegalsari dahulu adalah pesantren yang mendidik para santri dari penjuru tanah Jawa. Rakyat yang tidak boleh belajar di sekolah Belanda, ditampung dan dididik oleh Kiai Hasan Besari untuk belajar agama. Dia berguru langsung pada Kiai Hasan. Pelajaran penting dari sang guru adalah ilmu daqiq, atau yang lebih dikenal dengan tasawuf. Kiai Sadra yang Kristen saja ngaji pada Kiai Hasan Besari.
Ronggowarsito ditempa oleh pengalaman pahit pada masa penjajahan Belanda. Pemandangan sehari-harinya adalah rakyat Jawa yang susah hidup: tanam paksa, penyakit, pajak yang semena-mena. Di lain pihak, para pejabat kerton berpoya-poya.
Selain Serat Kalitida, karya terkenal Ronggowarsito adalah Serat Jaka Lodang. Dalam Serat Jaka Lodang, sang pujangga meramalkan tahun kemerdekaan negeri maritim ini, tahun 1945. Angka itu disimpulkan dari Wiku Sapta Ngesthi Janma. Empat kata itu kalimat Suryasengkala dengan penafsiran 7-7-8-1. Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan: 1877 tahun Saka atau tahun 1945 Masehi.
Begitulah sekelumit pujangga Islam tanah Jawa Ronggowarsito, yang digembleng ilmu agama, puisinya bukan pemanis hidup atau keindahan kata semata, tapi memuliakan manusia dan membela tanah airnya.