Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki. mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan senang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergembira ria dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman, (QS. Ali ‘Imran [3]: 169-171)
Tepat 20 tahun lalu, di udara, di atas langit Rumania, di dalam pesawat Garuda Indonesia GA-974 rute Jakarta-Amsterdam. Munir Said Thalib menjemput takdirnya yang lain, setelah awalnya hendak menjemput takdirnya untuk studi di negara Kincir Angin tersebut.
Dua dekade berlalu, dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi). Di senjakala periode Jokowi, putri bungsu Munir harus memohon untuk ke sekian kalinya.
“Tuntutan saya selalu sama dari dulu, dari umur saya dua tahun sampai umur saya 22 tahun, yaitu selesaikan janji-janji kalian yang kalian omongkan kepada ibu saya dan keluarga saya, bahwa kalian akan menuntaskan kasus Abah saya,” tutur Diva Suukyi Larasati dalam konferensi pers 20 Tahun Pembunuhan Munir di kantor YLBHI, Kamis 5 September 2024.
“Bapak Jokowi, Bapak SBY, tolong selesaikan. Sampai sekarang belum (selesai) loh, [sudah] 20 tahun,” tegasnya.
Pembunuhan Cak Munir memperlihatkan dimensi sistematis sebuah kejahatan. Tak hanya dari segi perencanaan, namun juga keterlibatan sistem negara.
Kasus ini masih menjadi momok bagi pembela HAM di seluruh Indonesia, jika terlalu vokal, maka nyawa taruhannya.
Nyawa adalah barang murah di republik ini. Nyawa Cak Munir adalah salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan nyawa yang melayang di republik ini, tanpa proses yang jelas dari negara.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut Cak Munir: ibarat nabi bagi korban pelanggaran HAM, laksana wali bagi pendamba keadilan. Jubahnya adalah keberanian, kitabnya adalah kebenaran, dan tutur katanya adalah kejujuran. Sikapnya adalah kesederhaan.
Sidney Jones menjulukinya “pejuang garis depan reformasi”. Cak Munir digambarkan berdiri tegak di hadapan penguasa, dia membuat mereka murka, menerima ancaman demi ancaman, dia tidak pernah menyerah.
Mengapa Negara Tidak Lelah Dengan Kekerasan?
“Bukan tak mungkin untuk soal (penculikan aktivis) ini pun Soeharto tahu dan bisa jadi ini perintah dia. Bukan tidak mungkin, karena kan yang lebih jahat dari itu pernah dia perintahkan,”Munir, Koordinator KontraS (Panji Masyarakat, 29 Juli 1998)
Nada kalimat Cak Munir di atas mencerminkan ciri khasnya: lugas, berani, dan tak takut menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan negara. Naming and shaming, menyebut dan mempermalukan. Analisis-analisisnya kerap dinantikan para pewarta berita, di tengah era ketakutan dan informasi yang serba terbatas, Cak Munir tampil sebagai suara yang berani melawan.
Urat takutnya seolah terputus, dengan data dan analisis yang tajam, Cak Munir tanpa tedeng aling aling menunjuk hidung pihak yang harus bertanggung jawab.
“Beberapa kebijakan terakhir yang disoroti Munir adalah RUU TNI 2004 dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004, dua UU itu disahkan tidak jauh setelah Munir meninggal,” ungkap Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, dalam konferensi pers 20 Tahun Pembunuhan Munir di kantor YLBHI, Kamis 5 September 2024. Usman juga menuntut kasus Cak Munir segera ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Cak Munir memang dikenal lantang mengkritik militer, baik pra hingga pasca reformasi. Misalnya di temu pers pada 14 Maret 2000, Cak Munir sebagai Koordinator KontraS melaporkan orang hilang di sepanjang tahun 1999 melebihi angka 100 orang. Angka ini menempatkan Aceh sebagai wilayah paling tinggi orang hilang di dunia.
Terhadap praktik penghilangan orang ini, dalam analisa Cak Munir, ada kepentingan sangat besar, yaitu operasi militer yang pada waktu itu berlangsung di Aceh sekaligus sebagai gejala adanya pertarungan politik untuk menghindari pertanggung jawaban hak-hak asasi.
Tak hanya Aceh, Cak Munir membongkar kasus penembakan petani di Blitar dan beberapa desa lainnya di Jawa Timur. Lagi-lagi, dia tak segan-segan langsung menuding militer sebagai pelaku dan mendesak pertanggungjawaban.
20 tahun lalu, racun jenis arsenik dosis tinggi dimasukkan ke sajian yang dia santap ketika berada di dalam pesawat. Dua jam sebelum mendarat di Belanda, dia sudah dinyatakan tidak bernyawa.
Cak Munir sesungguhnya tidak mati, ketika dia berusaha dibunuh—justru pada saat yang sama—melahirkan ribuan hingga jutaan perlawanan baru yang menyerukan kebenaran dan keadilan. Kebenaran yang menjadi hantu bagi negara. Hantu bagi rezim despotik yang terus bergulir.
Kini, di bilangan jalan-jalan kota di Indonesia, wajah Cak Munir menjelma ikon, menjadi simbol perlawanan terhadap impunitas dan kekerasan stuktural negara.
Kebenaran yang Samar, Impunitas yang Terus Mengakar
Di tengah-tengah kepengecutan yang kehilangan akal, keberanianmu pun menjadi anggun dan sakral. Tak ada yang dapat membendung dan menghentikanmu kecuali Yang Mahakuasa, Tuhan dan Sumber kekuatanmu. Bila iman adalah engkau, maka benarlah kata kiai, “Iman menjaga kemanusiaan dan nurani”. Tapi, mengapa kau dijemput terlalu pagi. Mungkinkah pohon yang kau rawat selama ini akan bersemi?
Gus Mus, Oktober, 2004.
Dua Presiden berganti, tak ada satu pun yang memiliki political will untuk menuntaskan dan mengadili dalang pembunuhan Cak Munir. Drama peradilan yang dipertontonkan ke publik hanya gimik peradilan yang justru membunuh rasa keadilan dan gagal mengungkap kebenaran.
Dalam 20 tahun terakhir, tak lelah keluarga Cak Munir bersama aktivis HAM terus menuntut agar negara serius menuntaskan kasus ini. Dalang atau otak intelektual di balik pembunuhan keji ini tetap terkunci, dan berbagai upaya untuk membuka kembali kasus ini kerap menemui jalan buntu.
Sementara itu, impunitas terus mengakar dalam sistem hukum di Indonesia.
Penundaan, penyangkalan, dan kurangnya transparansi semakin memperparah keadaan, memperlihatkan bahwa impunitas bukan hanya bertahan, namun juga semakin mengakar, dan menjadi penyakit kronis yang merusak fondasi bagi keadilan di negeri ini.
Di tengah kebuntuan tersebut, Aksi Kamisan, yang dimulai sejak 2007, hadir dan terus berupaya mewartakan kebenaran, memperjuangkan keadilan serta mengganggu impunitas –istilah Elizabeth Drexler. Aksi tersebut menjelma “alarm” yang terus berbunyi di setiap Kamis di depan Istana Merdeka, dan kini bunyinya sudah menjalar ke banyak kota di Indonesia.
Lebih jauh, Made Supriatma menyebut Aksi Kamisan bak duri dalam daging. Ia membuat nyeri kekuasaan, sekali pun kekuasaan itu sekarang tidak merasakan. Satu dua kali rasa nyeri itu muncul. Dan rasa nyeri ini awet, ia tidak muncul seketika. Namun akan sangat panas dan nyeri ketika mengalami pembengkakan.
Ketidakadilan ini menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap intervensi politik dan kekuasaan. Kebenaran yang samar dan impunitas yang terus mengakar merupakan dua sisi mata uang yang menggambarkan nasib keadilan di negara ini. Meski harapan akan keadilan masih hidup, tetapi pertanyaannya: sampai kapan kebenaran dibiarkan tetap samar?
Di era makin telanjangnya kekerasan negara, kerinduan akan kehadiran sosok Cak Munir makin terasa. Namun, mungkin Tuhan meminta kita untuk tidak egois. Terus menuntut Cak Munir untuk berbuat bagi kita hari ini. Tuhan pun berkata: mengapa terus Munir? Mengapa tidak kamu saja?