Refleksi 73 Tahun HMI dan Tujuh Masalah Serius yang Terabaikan

Refleksi 73 Tahun HMI dan Tujuh Masalah Serius yang Terabaikan

HMI sudah berusia 73 tahun dan ia memasuki masa yang penuh gonjang-ganjing

Refleksi 73 Tahun HMI dan Tujuh Masalah Serius yang Terabaikan
Almarhum Munir adalah salah satu kader terbaik HMI, ia dibunuh karena melawan dan melakukan kebaikan.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah berusia 73 tahun pada 5 Februari 2020 ini. Sebagai sebuah organisasi, melewati tujuh dasawarsa dan berhasil menjadi organisasi kemahasiswaan paling tua yang masih eksis sekaligus paling besar (paling tidak menurut HMI sendiri) adalah pencapaian yang harus disyukuri.  Berdasarkan refleksi penulis selama aktif di HMI, ada tujuh permasalahan besar yang harus diselesaikan agar HMI tetap eksis di masa depan.

Pertama, Independensi dan kekuatan politik. Seperti yang telah tertera dalam BAB III Pasal 6 Anggaran Dasar (AD): “HMI bersifat independen”. Sifat independensi HMI terbagi menjadi dua, yaitu indepensi etis dan independensi organisatoris. Independensi etis adalah ketidakberpihakan suatu individu kepada kelompok tertentu.Sedangkan Independensi organisatoris dalam tafsir independensi HMI diartikan menjadi:

“Dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, konstruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud”.

Sayangnya, independensi HMI sulit diimplementasikan dalam praktik. Hal tersebut terjadi karena di satu sisi HMI menggantungkan kekuatan politiknya pada para alumni dan sangat bergantung kepada mereka. Jejaring alumni HMI sendiri lebih sering membicarakan kekuasaan seperti pemilu, jabatan, atau jatah kursi untuk alumni sendiri. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti penegakkan HAM justru jarang dibicarakan. Padahal salah satu korban pelanggaran HAM, Munir, adalah alumni HMI juga.

Muncul pertanyaan, mungkinkah HMI punya kekuatan politik agar bisa menjadi pressure group yang menyuarakan kepentingan rakyat (bukan kepentingan alumni apalagi pribadi) dan tetap independen?

Kedua, adalah kekuatan ekonomi. Bergantungnya HMI pada alumni juga sampai pada ranah ekonomi. Sangat sulit ditemukan pada cabang maupun komisariat HMI di seluruh Indonesia yang mempunyai semacam koperasi, BMT, atau badan usaha yang bisa digunakan untuk membiayai pengkaderan dan aktivitas organisasi lainnya. Sering terjadi kasus di mana HMI untuk membayar biaya sewa sekretariat atau Latihan Kader 1 saja kesulitan, sehingga lagi-lagi mengharapkan kedermawanan alumni dianggap menjadi satu-satunya solusi. Dengan kata lain, harapan agar HMI bisa memberdayakan ekonomi umat masih jauh dari kenyataan. Memberdayakan diri sendiri saja belum bisa, apalagi ekonomi umat?

Ketiga, intelektualitas dan produksi pengetahuan. Sejak Nurcholish Madjid (Cak Nur, Ketua Umum PB HMI 1966-1971) menggeluarkan gagasan tentang pembaruan pemikiran Islam di era 1970an, HMI praktis absen dalam melahirkan intelektual dengan gagasan besar seperti Cak Nur atau memproduksi pengetahuan di berbagai bidang.

Di sisi lain, gencarnya intervensi dari “Pasar” dalam arus pemikiran Islam di Indonesia menghasilkan gagasan-gagasan serba “Pop” dan “Instan” seperti “Modis Syar’i”, “Cepat Kaya ala Islam”, atau mempromosikan poligami yang pada praktiknya hanya menyentuh aspek konsumtif individual umat Muslim di Indonesia tanpa memperhatikan dimensi sosial pembebasan dari ketertindasan kelompok marginal. HMI bisa dibilang absen dalam memberikan narasi tandingan pada pemikiran-pemikiran seperti itu.

Dilihat dari aktivitas kader-kader HMI di kampus-kampus sendiri, masih sedikit di antara mereka yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan seperti penelitian, penulisan artikel jurnal ilmiah, penulisan opini di media massa daring maupun luring, dan menjadi pengisi acara-acara diskusi di luar acara yang diadakan HMI sendiri.

Permasalahan yang keempat adalah penerapan keislaman. Masih banyak kader yang beribadah sebatas rutinitas simbolis dan belum substansial. Misalnya, kader tersebut sudah shalat, puasa, dan zakat tapi secara sosial mereka merasa lebih tinggi dari orang lain berkat ibadahnya. Selain itu banyak juga yang sudah beribadah tapi tidak mau peduli dengan nasib mustadh’afin yang sengaja dimiskinkan dan dibodohkan karena bagi mereka, sudah beribadah secara ritual adalah yang terpenting.

Permasalahan kelima adalah tentang citra untuk menarik calon anggota. Pada kenyataanya harus diakui, bahwa mahasiswa sekarang jarang yang tertarik dengan organisasi seperti HMI yang bersifat formal-struktural-birokratis-rigid-politis ditambah sering juga karena perilaku sebagian kader HMI yang terlihat menghalalkan segala cara agar mendapat posisi di Badan Eksekutif Mahasiswa/Lembaga Mahasiswa Fakultas/Himpunan Mahasiswa tingkat Departemen.

Mahasiswa-mahasiswa sekarang lebih tertarik dengan komunitas-komunitas atau forum-forum yang nuansanya lebih santai dan kekinian serta fokus pada isu-isu tertentu. Singkatnya, HMI masa kini terlihat kurang menarik bahkan bisa jadi tidak menarik bagi sebagian besar mahasiswa.

Permasalahan keenam adalah tentang penggunaan teknologi. Kita harus mengakui bahwa HMI memang sudah berhasil bertahan selama 73 tahun tapi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara HMI bisa bertahan di zaman globalisasi teknologi digital, big data, munculnya start-up, dan era disrupsi akibat perkembangan teknologi yang begitu cepat jika tata kelola organisasi dan cara berpikir organisasional HMI masih sangat old school. Di masa lalu pengelolaan organisasi dan administrasi HMI memang pernah menjadi rujukan organisasi mahasiswa lainnya, tapi itu di masa lalu sedangkan yang HMI hadapi adalah masa depan.

Permasalahan yang ketujuh adalah tentang interaksi dengan masyarakat. Setiap ulang tahun HMI selalu muncul kutipan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang mengatakan bahwa HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam tapi juga Harapan Masyarakat Indonesia. Nyatanya, kutipan hanyalah kutipan. Pada kenyataanya sulit menemukan (untuk tidak mengatakan tidak ada) kader HMI yang ikut dalam kegiatan kemasyarakatan seperti gotong royong dengan masyarakat, bahkan di sekitar sekretariat HMI sendiri.

Lebih banyak kader HMI yang asyik dengan gadget mereka dan mengurung diri di sekretariat. Akibatnya kader-kader HMI sering tidak mampu (bahkan tidak mau) memahami lokalitas dan budaya masyarakat di sekitar mereka. Hal tersebut sering diperparah dengan perasaan superior, merasa yang paling tahu apa yang paling baik untuk masyarakat.

Pertanyaanya, bagaimana bisa tahu tentang dan menjadi harapan masyarakat kalau berinteraksi dengan mereka saja tidak pernah (bahkan mungkin tidak mau)?

Ulang tahun bukan hanya sebuah perayaan. Refleksi agar mampu berbenah diri juga perlu dimulai, apalagi menyangkut eksistensi dan esensi organisasi. Sudah 73 tahun HMI, masih menunggu apa lagi?