Dalam 10 tahun terakhir, politik kita mengalami transformasi. Aktor utamanya siapa lagi kalau bukan Jokowi. Sementara 10 tahun lalu masih Walikota Solo, sekarang dia adalah Presiden Republik Indonesia yang bersiap-siap untuk periode kedua.
Bagi sebuah bangsa yang sekian lama terbelenggu oleh feodalisme dan otoritarianisme, ini adalah pencapaian yang luar biasa. Dulu tidak terbayangkan rakyat biasa, seorang tukang kayu, bisa menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Tetapi ternyata tidak hanya bisa, tetapi juga hasilnya luar biasa. Hampir seperti Bandung Bondowoso, Jokowi membangun jalan yang menyambungkan Indonesia hanya dalam sekejap saja.
Karena tidak terbayangkan sebelumnya, banyak orang menyangkal. Lalu mereka mengembangkan teori konspirasi di batok kepala mereka. Seolah Jokowi adalah wayang yang dikendalikan oleh dalang entah siapa.
Pada saat yang sama, orang-orang itu terus merawat ilusi adanya pangeran berkuda yang akan menyelamatkan mereka. Ternyata pangeran yang diharapkan itu adalah jenderal pecatan mantan mantunya Soeharto yang diceraikan istrinya lalu lari bersembunyi di luar negeri. Tahun 2009 dia kembali untuk bertarung merebut kekuasaan. Tahun 2019 dia masih berusaha melakukannya lagi.
Sekarang pilihan terbuka: mau terus bertransformasi atau belok kembali. Bagi mereka yang mau berubah, ini adalah pilihan yang mudah. Tetapi bagi mereka yang tubuhnya tersesat di masa kini tetapi hatinya tertinggal di masa lalu, yang terjadi adalah sebaliknya.
Kenangan memang melenakkan, tetapi bukankah hidup harus terus berjalan?