Istilah zuhud seringkali kita dapatkan, entah dari ceramah yang kita dengar dari para Ulama maupun kitab-kitab tasawuf yang ada.
Di zaman now, zuhud bukanlah sesuatu yang mustahil, semua orang bisa mengaplikasikannya, tergantung bagaimana pemahamannya terhadap sifat zuhud itu sendiri.
Dinuqil dari kitab Az-Zuhdu wa Sifat Az-Zahidin milik imam sufi terkemuka yaitu Ibnu Arabi. Ketika Abu Hasyim Abdul malik al-Maghazili ditanya perihal zuhud, beliau menjawab: “Zuhud adalah memutuskan harapan, mengerahkan kemampuan dan menanggalkan kesenangan”.
Berdasarkan pernyataan di atas, zuhud tidak berarti harus meninggalkan dunia secara keseluruhan, akan tetapi ketergantungan kepada dunialah yang patut dihindari. Sebagaimana diterangkan dalam kitab az-Zuhdu al-kabir, Abu Sulaiman berkata: “Zuhud yang hakiki tidaklah mencela dunia, tidak juga memujinya, tidak terpaut kepadanya, tidak merasa senang jika mendekat, dan juga tidak bersedih jika ia pergi menjauh”.
Bersifat zuhud tak perlu menjadi fakir maupun miskin. Berapa banyak orang miskin yang dalam hatinya tersimpan hawa nafsu duniawi dan tidak mampu ikhlas menerima keadaannya.
Dengan demikian, kita dituntut untuk terus bekerja dan berusaha mencari penghidupan di dunia, tanpa disertai perasaan ambisius, sehingga hati tidak selalu bergantung kepadanya. Inilah yang dinamakan zuhud.
Kita bisa mengambil teladan dari Imam Ibnu al-Mubarok, pemimpin orang-orang zuhud pada masanya yang tidak diragukan lagi kezuhudannya. Sehingga, Imam Khatib al-Bagdadi berkata: “Beliau adalah salah seorang yang dipuji dengan kezuhudannya”
Imam Ibnu al-Mubarok memandang zuhud dengan kacamata yang berbeda. Bahkan beliau menolak perspektif bahwasannya zuhud adalah meninggalkan dunia, mengasingkan diri dari manusia, mengandalkan pemberian orang-orang yang berbuat baik dan bersedekah kepadanya, serta tiada henti-hentinya beribadah (tanpa bekerja).
Akan tetapi menurut beliau, zuhud ialah besungguh-sungguh, berusaha, mengalami kesulitan hidup dengan berbuat kebajikan agar menghasilkan harta yang halal, sehingga harta itu dapat diinfakkan di jalan Allah Swt dan dapat digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan, anak yatim, dan ibnu sabil.
Tindakan Ibnu al-Mubarak yang demikian, didasarkan oleh perbuatan Rasulullah Saw yang memiliki sisi lain sebagai niagawan dan pedagang, beliau juga berinfak di jalan Allah Swt, sedangkan Nabi adalah orang yang paling zuhud. Beliau juga menerapkan perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib R.A: “Seandainya seseorang meperoleh seluruh apa yang ada di dunia untuk mencapai rida Allah Swt maka dia dapat disebut sebagai orang yang zuhud, akan tetapi meskipun ia meninggalkan seluruh apa yang ada di dunia dan bukan untuk mencapai rida-Nya, maka ia tidak dapat dikatakan seorang yang zuhud.
Pernah suatu hari beberapa orang zuhud membantah Ibnu al-Mubarak karena beliau berkecimpung dalam dunia perdagangan dan perniagaan. Mereka meminta beliau agar meninggalkannya dan fokus dalam beribadah dan mengasingkan diri dari manusia. Ketika itu Abu Ali berkata kepadanya: “Bagaimana mungkin engkau memerintahkan kami untuk bersifat zuhud sedangkan engkau mendagangkan barang jualan dari Khurasan ke Tanah Haram? Beliau pun menjawab, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal tersebut supaya aku dapat menjaga mukaku, memuliakan harga diriku dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Alah Swt”.
Pandangan Ibnu al-Mubarok yang demikian, memotivasi kita untuk bersifat zuhud di zaman now, dengan menyesuaikan keadaan kita dan selalu bekerja serta beramal.
Wallahu a’lam