Dalam agenda anjangsana Islam Nusantara, tanggal 23-28 Januari 2016 dengan tema Mengokohkan Sanad Keilmuan dan Wawasan Kebangsaan, ziarah ke makam wali menjadi sesuatu yang niscaya. Perjalanan anjangsana dimulai dari Purwakarta, makam Baing Yusuf di depan masjid agung Purwakarta, lalu ke makam Pangeran Cakrabuana di Talun Cirebon, makam Habib Hasyim bin Umar bin Yahya di Pekalongan, makam Raden Patah di depan masjid Demak, makam Kiai Bisri di Rembang di pemakaman umum (sekitar 1 km dari pondok Gus Mus), makam Kiai Faqih di Langitan dekat dengan pesantren Langitan, hingga di Jombang, makam Gus Dur, Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Wahid Hasyim di area makam Pesantren Tebuireng Jombang.
Bukti yang tak dipungkiri adanya Islam di Nusantara dari dulu, abad ke-14 hingga saat ini, abad ke-21, salah satunya adalah makam-makam para wali/ ulama/ dai di setiap daerah. Ziarah kepada para makam itu pula menjadi bukti lain bahwa masyarakat Indonesia masih tetap menghargai, menghormati, dan mendoakan para ulama tersebut. Dengan ziarah ke makam-makam itu sejarah keislaman lokal yang jarang ditulis dalam buku-buku sejarah, dan diajarkan di kelas sekolah/perguruan tinggi menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan sejarah Islam secara faktual.
Untuk mengungkap sanad keilmuan Islam di Nusantara, sesuai dengan rute anjangsana, para kiai yang dikunjungi juga tak jarang juga menunjukkan makam-makam penting dalam dakwah Islam di daerahnya. Salah satunya, makam Habib Hasyim bin Umar di Pekalongan, oleh Habib Luthfi kita diminta untuk ziarah ke makam Habib Husein yang masih menjadi leluhur Habib Luthfi. Padahal makam Habib di Pekalongan ini tidak ada dalam agenda anjangsana, tetapi karena kita ingin mengokohkan sanad keilmuan, maka ziarah pada waktu dini hari itu, tetap dilaksanakan. Pada saat yang sama, di makam itu, ternyata masih ada para peziarah yang sedang berdoa kepada sang Habib. Sekali lagi, hal itu membuktikan bahwa masyarakat sendiri memang masih menghormati para ulamanya. Selain menjadi guru agama Islam, para ulama ini juga menjadi pahlawan bagi bangsanya, karean prinsip kebangsaan yang dipegangi selama hidupnya.
Hal serupa dijumpai juga pada saat ziarah di makam Baing Yusuf Purwakarta yang merupakan salah satu guru dari Syekh Nawawi Banten, pengarang kitab kuning sangat populer di Indonesia, lalu Mbah Kuwu Cirebon yang merupakan uwa Sunan Gunung Jati. Mbah Kuwu ini juga pernah belajar Islam kepada Syekh Nurjati dan Syekh Qura di Karawang. Para peziarah masih saja terus berdatangan silih berganti di tempat tersebut.
Oleh karena itu, sekali lagi dalam konteks sanad keilmuan Islam Nusantara, makam-makam para wali, ulama, dan kiai dapat menjadi pintu masuk untuk mengokohkan sanad keilmuan. Semoga Allah Swt. senantiasa melestarikan makam-makam tersebut, sehingga Islam di Nusantara tidak mudah diingkari hanya karena tidak ada bukti-bukti nyatanya, seperti makam ini. Demikian salah satu hikmah yang dipetik dari anjangsana Islam Nusantara oleh Pasca Sarjana STAINU Jakarta.
*)Mahrus eL-Mawa
Wakil Ketua LP Ma’arif NU Pusat
Pendiri Cirebon Studies